x

Lasbeg's Diary: Kudus-Jepara Istimewa
Diposkan oleh rizkidwika

 The Cast
(Mau Tau Siapa Aja? Mau Tau Aja apa Mau Tau Banget?
JANGAN KLIK DI SINI )

Keterangan: Postingan ini diangkat lagi untuk mengikuti kontes
#NekadBlog dari #NekadTraveler Telkomsel Flash!
main-main ke sindang yey, seus!
telkomsel.com/nekadtraveler
tsel.me/TVCNekadTraveler
:3



HOLA MANTEMAN! :"D
Sebelumnya, Rizki Dwika bersama Nikita Willy mengucapkan
Selamat Idulfitri 1433 H! (eh, sekarang mah 1434H -red.)
Mohon maaf lahir dan batin ya
*kibas abaya renda*

Ceritanya, postingan kali ini adalah kelanjutan dari petualangan sebelumnya,
Maaf baru di-update sekarang, jujur, lagi males banget men.
Dan sekarang nggak kerasa liburan kuliah tiga bulan udah hampir selesai, dan semesta UI bakal kembali sibuk dalam rutinitasnya.
Well, kita kembali ke tema yang sebenarnya.



Pagi-pagi di Kosan Dezky,
Kami bertiga telat bangun. Rencana awal pergi ke Kudus jam 07.00 batal dipenuhi.
Setelah mandi, dan sebagainya, dan sebagainya, kami meninggalkan Kawasan Undip jam 09.00
menuju terminal Terboyo, Semarang.

Gara-gara disuruh Nyokap gara-gara ternyata gue mendadak nekad pergi ke Semarang nggak bilang-bilang, gue disuruh untuk sekalian nyekar makam Eyang Kakung yang terletak di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Petuah orang Jawa, katanya ziarah tanpa bunga bagai hidup tanpa cinta. Akhirnya, sebelum berangkat ke terminal, gue pergi ke Pasar Jatingaleh demi segenggam bunga kubur.

Iya, seminggu di Jawa Tengah membuat gue secara mau nggak mau mengaktifkan bahasa roaming gue. Maksudnya ya, menggunakan bahasa lokal setempat. Percayalah, gue berdialog dengan bahasa Jawa.
Sekilas info, katanya, kalo kita berbelanja atau nawar suatu barang dengan bahasa Jawa, harga yang diberikan si penjual tadi bakal jauh lebih murah.
Well, challenge accepted.

"Mbah, kembang sawure limangewu, nggih?" (Nek, bunga taburnya lima ribu, ya?)
Gue mempraktikan dialog itu kepada nenek-nenek setempat. Lidah gue gatel sendiri.
"Piro le?" (Berape, tong?)
Gue loading, agak lama.
"Nggih, limangewu, Mbah" (Iya, lima ribu, nek)
Gue berhasil.

***



Sesampainya di Terminal Terboyo, Semarang, kami bertiga bertemu dengan Fitri yang semalamnya nginep di kosan teman sesama Lampungnya. Dari sana, kami menggunakan Bus Nusantara menuju Kudus yang ditempuh sekitar dua jam aja.
Setelah melewati hamparan padi, sungai, pasar-pasar, serta Masjid Agung Demak, jam 11.00 kami tiba di Kabupaten Kudus.

Kota ini memiliki predikat sebagai kota kretek, alias kota rokok. Gimana nggak? Beberapa perusahaan rokok nasional berawal dari kota ini, misalnya Djarum, Minak Djinggo, dan masih banyak lagi.
Rokok dan masyarakat Kudus itu satu kesatuan, katanya.

Sebagai pendatang, kalo boleh mengganti gelar kota itu seenaknya, maka gue akan menobatkan Kudus sebagai kota terpanas se-Asia Afrika. Asli, neraka bocor di sana. Puwanas banget.
Begitu sampai di terminal Kudus, kami langsung ke destinasi pertama.
Pesarean, alias pemakaman.

Di Pesarean, gue sempat kesusahan mencari makam Eyang sendiri, karena biasanya setiap nyekar gue selalu bareng sama keluarga. Sori, agak keliatan ya, durhakanya.
Nah, berbekal nggah-nggih-nggah-nggih lagi, akhirnya makam Eyang Kakung ketemu juga.
Kami berdoa secara khidmat, tapi nggak lama, Dezky menghancurkan kekhusyu'an tersebut.
"Fat, fotoin gue dong. Kuburannya keren, kaya di mana gitu, nisannya warna-warni"




Dengan sedikit paksaan, akhirnya jadilah foto bertema mysterious gothic di atas.
Gue nggak tahu apa motivasinya.

***


 
Selain terkenal dengan rokok, Kudus juga terkenal dengan......... sotonya!
Di Kudus, soto bisa dibilang unik kalo dibanding sama kota-kota lainnya. Setiap pedagang soto di sana menawarkan dua pilihan, yaitu soto ayam dan soto kebo. Iya, kebo yang itu.
Bener aja, bro. Di Kudus, kebo didayagunakan nggak cuma buat bajak sawah aja, tetapi juga diolah menggantikan daging sapi. Uniknya, ada cerita tersendiri di balik penggunaan daging kebo ini.

Waktu era penyebaran Islam di Tanah Jawa, Sunan Kudus memerintahkan pada muslim di kota itu untuk menyembelih kerbau, bukan sapi. Hal ini ditujukan untuk menghormati pemeluk Hindu di Kudus, karena di agama Hindu sendiri, sapi merupakan hewan yang disucikan.
Maka jadilah kebo sebagai makhluk multifungsi di Kudus.

Dari Pesarean, kami berempat ngebecak menuju salah satu cabang soto yang terkenal di sana, Soto Bu Jatmi di daerah Panjunan. Setelah ngebecak-ngebecak cantik, kami tiba di sana, memesan empat porsi soto kebo serta lauk-lauk gorengan seperti perkedel, sate jeroan, dan..... otak sapi goreng. Favoritku! :3




le Fitri, le Gue (masih dengan android yang belum kecopetan) :")

le Fatah, le Dezky


Abis kenyang, kami kembali ngebecak lagi menuju salah satu destinasi wisata yang paling terkenal di Kudus: Masjid Menara!
Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan Sunan Kudus waktu menyebarkan islam di sana. Yang unik dari masjid ini adalah....... arsitekturnya.
(men, gue liburan, ngapain bahas beginian -___-)



berterimakasihlah pada Wikipedia.Org
Di samping masjid eksisting, dibangun sebuah menara masjid yang dibuat dari susunan teracota atau batu bata menyerupai konstruksi candi Hindu. Selain itu, menara yang difungsikan untuk mengumandangkan adzan ini juga ditempeli porselen-porselen China di dindingnya.

Yang bikin menara ini unik, biasanya konstruksi candi di Jawa menggunakan putih telur sebagai perekat, tapi menara masjid ini nggak memakai barang sebutir telur pun, loh.
Jangan tanya, gue juga nggak tahu gimana cara nyatuinnya gimana.




***



Wisata di Kudus telah selesai, jam tiga sore kami memutuskan untuk pergi ke Jepara. Mengejar matahari terbenam, ceritanya.
Lagi-lagi, berbekal nggah-nggih-nggah-nggih, entah keajaiban dari mana, kami bisa melalui perjalanan itu dengan selamat.

Dari Kudus ke Jepara, kami harus menaiki minibus dari Terminal Jetak.
Busnya penuh, tapi berhubung kami berempat naiknya duluan, jadi kami bisa asik sendiri di kursi belakang.

Asal tau aja, penduduk di daerah yang kecil seperti itu kayanya hidupnya bahagia banget, kaya nggak ada beban hidup sama sekali. Muka mereka lebih bebas, beda jauh sama kami berempat yang udah terkontaminasi bau kota.
Bus terus jalan. Gue melanjutkan karaoke teruskanlah-nya Agnes Monica diiringi sound system bus yang berdegup kencang.

Setelah satu jam, kami bingung turun di mana.
Awalnya kami bakal ke Pantai Bandengan, namun karena target mengejar sunset takut nggak tercapai, kami memilih ke Pantai Kartini yang lebih dekat.
Berdasarkan nggah-nggih-nggah-nggih lagi, kami turun di bibir gang menuju Pantai Kartini, kemudian jalan sekitar setengah kilometer.
Kawasan pantai lagi rame-ramenya. Usut punya usut, Ada Band lagi ngadain tur di sana.
Oke, kami kesini bukan buat nonton Doni Ada Band dan kawan-kawan kok, sungguh.

Anyway, Pantai Kartini jauh dari ekspektasi gue yang mendambakan pasir putih, ombak, dan laut berwarna cyan.......
Duh iya, gue kacyan.

Tiba-tiba, bapak-bapak dengan toa-nya meneriaki pengunjung untuk menyeberang ke Pulau Panjang.
Sebagai Manusia-Yang-Nggak-Pernah-Menyeberangi-Pulau-Jawa, gue langsung tergugah untuk mengajak Dezky, Fatah, dan Fitri.

Dengan perahu motor, kami menyeberangi pulau yang jaraknya ditempuh sekitar lima belas menit.
Lima menit pertama, gue memandang pesisir Jawa sambil berkaca-kaca, kemudian mereka menyelamati gue satu per satu. Sisanya, gue nyelupin tangan ke dalam laut, mainan ombak, sambil teriak-teriak imbisil.
Laut, pantai, sunset, gue adalah makhluk paling berbahagia pada saat itu.


Dari Pinggir Pantai Kartini

Fitri-Fatah di Perahu

Sopir Hangover

Call me Dewa Neptunus!!!

First Step, Terminal Pulogadung. Check your belongings...

LASBEG!

Berasa KD-Rahul Lemos

Wo-wo-wo-wo Anak Pantay!

Nggak Tahu Harus Komen Apa

Keterangan: Tinggi Kami Sama, Pantainya Landai

Catatan (yang dibuat dengan) Kaki

SUNSET!



Ternyata, kebahagiaan barusan semu belaka.
Berdasarkan info, katanya, kalo udah jam enam, angkot maupun bus di Jepara udah pada nggak jalan.
Mampus. Nggak mungkin kan kami nginep di kota ini?

Malu bertanya, sesat di jalan. Kami nanya sana-sini supaya bisa pulang.
Menurut titah tukang becak, kami disuruh ke alun-alun Jepara, berharap masih ada bus yang bisa mengantarkan kami pulang ke Semarang. Kami ngebecak lagi. Di malam yang sepagi ini, sepinya Jepara udah kayak kota mati.
Di alun-alun ternyata banyak juga orang yang nungguin bus di sana.
Awalnya, kami hampir ditipu sama travel busuk. Mereka menawarkan ke Terboyo dengan itungan per kepala Rp.30.000,00.
Kemudian, si bapak becak yang tadi menjelaskan sambil narik badan gue
"Jangan mau mas, sampeyan ditipu! Nanti mas naik bus toh ke terminal X, nanti dari sana mas naik taksi mbalen!"
Gue iya-iya aja. Nggak lama, bus yang dibilang datang juga.
"Itu mas!" Bapak becak menunjukkan.
Asli, masih banyak orang baik di Indonesia :")

Kami menaiki bus itu tanpa arah, cuma nurut apa kata kondektur aja. Kemudian, kondektur menurunkan kami di salah satu perempatan.
Sambil ngemil-ngemil di emperan minimarket, kami nunggu transportasi moda bernama taksi mbalen. Gue rada nggak ngerti sama apa yang dimaksud bapak becak.

Apa itu taksi mbalen?
Sebuah mini jeep-kah? Pick-up kah?
Apakah truk terbuka yang disebut oleh penduduk sekitar dengan sebutan taksi?
Entahlah. Gue bingung.

Tetiba, taksi dalam bentuk normal seperti biasanya datang menghampiri kami. Bapak-bapak parkiran minimarket langsung menyetopnya buat kami.
Ternyata, yang dimaksud dengan taksi mbalen oleh bapak becak adalah taksi yang mbalen alias balik ke Semarang. Biasanya, dari Semarang ada yang mencarter taksi hingga Jepara. Nah, daripada si sopir kembali ke Semarang tanpa penumpang, mending dia narik penumpang dengan tarif yang murah. Oh gitu!

Dengan tarif 15.000,00 aja, kami menempuh jarak Jepara-Terboyo. Gila, nggak kebayang kalo kami jadi kejebak sama travel busuk yang tadi. Mendingan naik ini, meuni nyaman, ber-AC, full music lagi!
Perjalanan kami akhiri dengan nyanyi-nyanyi selama tiga jam di dalam taksi. 
Gue karaoke lagi, kali ini Syahrini.

...........................
...................
.............
.......


Bersambung, kakak.
Ber-sam-bung.

Photo

28/08/2012

di 11:11


Label:

@rizkidwika

fatwa halal

fatwa halal

Universitas Indonesia


jama'ah