x

The Mess Runner 2: Saigon Luar Dalam
Diposkan oleh rizkidwika



08.00
Pagi yang nggak terlalu pagi
Saigon Backpacker Hostel, hari pertama.


Gue terbangun terbatuk-batuk di tengah deburan AC yang langsung terpapar ke muka. Terlepas gue emang lagi sakit, emang dasarnya norak kali ya… sekamar sama David si bule US dan bule Perancis satunya lagi memberikan pengalaman bangun tidur dengan menggigil-gigil yang amat nggak enak.
Untuk ngangetin badan, gue, Ochan, dan Gege pun beranjak ke lantai bawah untuk mengambil jatah sarapan berupa pisang gratis—sebanyak-banyaknya, segratis-gratisnya, kemudian pergi ke rooftop hostel buat menikmati pagi di Ho Chi Minh City dari ketinggian lantai lima.

Terkadang, ekspektasi nggak melulu sejalan dengan realita. Begitu kami menaiki satu per satu anak tangga—iya, tangga. Nggak ada lift. FYI, kamar kami di lantai empat. Sehari di Saigon Backpacker Hostel @ Cong Quynh membuat betis kami sikpek, gambaran mengenai rooftop yang mereka publikasikan di website-nya pun udah berubah bentuk. Cewa sih, tapi pemandangannya leh uga.




(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)


Yang di atas ekspektasi. Yang ini realita
Melihat ke bawah: jejeran signage beralfabet penuh tanda koma


Sepanjang melihat ke bawah, kami menemukan kesibukan para warga kota di hari Kamis. Pedagang mendorong gerobak-gerobaknya, rumah makan pagi dijejali orang-orang yang mulai kelaparan, juga para pengguna sepeda motor yang slanang-slonong dengan tidak beraturan sama seperti Jakarta. Bedanya, di kota ini helmnya nggak punya standar kaya SNI, jadi mostly seluruh pengguna motor pasti helmnya berbentuk batok, bahkan helm Grabbike sekalipun!

Dari atas ketinggian lima lantai, kami menghabiskan jatah pisang; ngomongin rencana hari ini sambil menikmati pemandangan Distrik 1 yang belakangan gue sadari mirip Glodok atau Pinangsia.

View ngadep timur. Perhatikan helm-helm mereka
Kek Jakarta Barat yha rasa-rasanya
Maz, nginep di Manggadua???

Setelah diskusi cukup panjang, diputuskan bahwa agenda kami hari ini adalah seharian berjalan mengunjungi tempat terkenal di HCMC sampe sore, kemudian Ochan dan Gege harus meninggalkan hostel jam delapan malam buat flight ke Hanoi dan berlayar di Halong Bay tempat Afgan dan Teh Ocha rekaman video klip lagu Kamu Yang Kutunggu. Yang terakhir ini harus banget disebut.





10.00
Setelah selesai mandi dan touch up, kami langsung tschus menyusuri setiap sudut HCMC hanya berbekal Google Maps dan jalan kaki. Iya. Jalan kaki. Antara emang kami yang nggak paham sama rute bus yang sliweran di HCMC, atau kami yang kelewat hemat nggak kepengin menggunakan taksi. Anyway, jalanan pertama yang kami susuri adalah Jalan Cong Quynh tempat hostel kami berada. 50 meter dari gerbang hostel, kami menemukan FamilyMart dan memutuskan untuk belanja perbekalan terlebih dahulu sebelum jalan seharian mengitari kota.


“Selamat pagi! Selamat datang! Selamat berbelanja”
Ga deng, gaada salam-salam template kek minimarket di Indonesia.


Kami berpencar melihat sekitar buat ganjel perut. Gege menemukan beberapa jenis roti, sedangkan mata gue tertuju pada deretan rak mie cup dan sejenisnya. Banyak mie cup dengan rasa macam-macam dan kemasan yang nggak pernah gue liat sebelumnya, tapi hanya satu edisi aja mie cup lokal yang memiliki sertifikasi halal…. Tapi tunggu. Gue menemukan INDOMIE GORENG yang bahasa dan bungkusnya amat gue kenali! Puja Indomie! Ululululu~

Mie kotak ketiga dari kiri (Phu Gia) itu satu-satunya yang halal di foto ini
INDOMIE! Di sana harganya 6.000 Dong, alias tiga rebu rupiah

Beranjak dari rak mie instan, gue pun menuju ke bagian chiki dan jajanan di sana. E&!!!
Gue kaget melihat sebuah chiki di plastik berwarna pink dengan label INDOCHIPS, Indonexia blablabla chips. Setelah baca ingredients dalam bahasa Inggris, meski belum ada label halalnya gue pun segera mengambilnya. Nggak cuma itu. Meski gue lagi batuk-batuk hebat, gue juga tertarik buat ngambil snack lain yang berada di sebelahnya. Namanya Tomati, pabrikannya Oishi. Gambarnya di covernya sih tomat, bukan babi. Pas baca keterangan di belakangnya, ah nggak ada babi-babinya juga kok. Oke, beli! Gue pun segera membawanya dan menebusnya di kasir.

Fotonya sih kerupuk udang, tapi gambarnya cumi

KKK (Koko-koko kasir)
DM (Deva Mahenra)
*menggunakan scanner harga*
KKK: “Nggak sekalian pulsanya? Ada Kartu Akunya?”
ANYING INI DI VIETNAM, BUKAN INDOMARET
KKK: “Xie sin sia ngin dong” Koko-koko tadi berujar dalam Bahasa Viet yang nggak gue pahami
DM: “Pardon?”
KKK: “Oh, sorry. Eleven thousand Dong”
Gue yang sebetulnya berwajah sangat Uzbekistan ini dikira penduduk lokal sama KKK. Begitula.


Setelah membayar, gue segera mencicipi jajanan bernama Tomati tadi. Gue buka bungkusnya, gue perhatikan bentuknya. Biasa aja. Kaya bentuk tomat diiris gitu aja. Gue pun tergerak untuk menggigitnya. Krauk…


//YOUUU RAISE MEEE UUUUUPP…. (HAAAA…)
SO I CAN STAND ON MOUNTAINN….//

Gue nggak tahu ada suara Josh Groban dari mana dan gue sendiri nggak merasa sedang ikutan Uang Kaget atau Bedah Rumah yang dulu ditayangin RCTI. Tapi asli. Sebagai pecinta saus tomat, gue amat tergetar memakan ciki yang sangat enak ini…




10.30
Kami terus menyusuri jalan hingga jauh. Keringetan sih, tapi entah kenapa berjalan kaki di HCMC nggak berasa capeknya. Pertama, trotoarnya amat sangat lebar dan rapi. Beberapa lokasi—terutama di jalan jalan terbesar bahkan trotoarnya menggunakan granit ala-ala kayak di Jalan Riau di Kota Bandung. Kedua, pohon di HCMC sangat rindang. Sepanjang kami jalan kaki, kami nggak terlalu merasa gosong kepanasan apalagi terpapar debu motor guoblok yang knalpotnya dibobok sehingga asepnya nabok-nabok kaya di ibu kota kita tercinta. Ketiga, HCMC banyak bule yang juga jalan kaki. Saking seringnya papasan sama bule, kami malah lebih ngerasa kaya lagi di suatu tempat di Bali.

Nadya Hutagalung kepergok liburan bareng Nadine Chandrawinata
Nadine dan Nadya Hutagalung berjalan bersama sesebapak bule
Trotoarnya lebar-lebar. Bikin angkringan jual kopi joss kek Malioboro bisa nih.
Fasad toko di sana lucu-lucu. Dengan kekuatan hengpon jadul, cekrek!
Artinya mungkin... sudahkah anda minum yakult hari ini?

Overall, HCMC adalah kota yang sangat ramah terhadap pejalan kaki….. tapi nggak buat penyeberang jalan. Iya. Pengguna sepeda motor di HCMC jauh lebih brengsek ketimbang yang ada di neraka penyeberangan seperti Jalan Raya Margonda. Contoh konkretnya adalah jika kita mau nyeberang dan kebetulan lampu penyeberangannya keburu ganti duluan, kita bakalan diterjang sama motor-motor penduduk lokal. Tanpa mengalah, nggak pake berhenti, mereka cuma bakal sedikit ngurangin kecepatan atau melipir tanpa memperhatikan nyawa kita. Bagi kalian-kalian yang merasa jumawa karena merasa jadi master menyeberang di Jalan Margonda, gue menantang lu buat nyeberang di HCMC.


Gerobak kelontong ala Saigon. Itu botolnya persis
kek yang di Kera Sakti inget banget w!
Lagi jalan ketemu Banh Mi, sandwich vietnam berupa roti bagguete
yang diisi sayur segambreng dan irisan daging ayam atau... babi.
Gue mengurungkan niat buat mencoba karena penjualnya make capit dan
sarung tangan yang sama buat kedua jenis daging :"



11.00
Oke. Tujuan pertama yang kami datangi adalah taman kota di kawasan sekitar Reunification Palace, istana sekaligus benteng terakhir Vietnam Selatan dari gempuran penguasa Vietnam Utara yang beraliran komunis—iya, jangan kagetan kalo lu lagi jalan di mari tiba-tiba banyak melihat bendera palu arit seperti yang lagi ditakut-takutin di dalam negeri.

Taman kota yang letaknya di depan istana
Wah sekarang Jalan Pasteur makin tertata rapi ya! Nuhun Kang Emil!



Di taman kota yang super-rindang itu, kami leyeh-leyeh sambil menikmati sekitar. Istana, katedral Notredame –yang menurut gue sangat indah karena material batunya bata terrakota, juga sisa-sisa bangunan peninggalan kolonial Perancis yang kental dengan gaya le style empire –sering disederhanakan menjadi Empire Style- masih kokoh dan terawat sampai sekarang. Apresiasi untuk pemerintah kota HCMC.

Karena kita datang di saat katedral sedang istirahat, alhasil kami melipir ke bangunan Central Post Office yang ada di sebelah timur. Dari luar, bangunannya sangat berwarna. Isinya? Jauh lebih luar biasa. Begitu gue masuk, gue sangat menyukai pola lantai tegel warna-warni dan lengkung rangka baja yang terekspos di bagian atas. Yha… Lagi off ngajar pun masih harus dijejali arsitektur-arsitektur begini. Luar biasa…

Tampak depan Kantor Pos Pusat yang banyak ukir-ukirannya.
"Stasiun Kota" ala HCMC, lengkap dengan lukisan bapak bangsa
Pendidikan terakhir: S1. Hobi: Motretin langit-langit
Prangko yang dijual di sana, dikemas jadi paket-paket kartu

Saat ini, bangunan itu pun masih difungsikan menjadi kantor pos, dengan beberapa fungsi tambahan seperti toko souvenir, tempat agen wisata, juga jualan benda filateli. Koleksi prangkonya lucu-lucu banget. Sayangnya, harga yang dibandrol per koleksi berkisar 40.000 Dong sampai yang paling mahal sekitar 120.000 Dong. Kalah harga tempat nginep gue per malemnya...



Bangunan peninggalan Perancis yang membuatqu jatuh cinta
Post Office Hall, sebelah kanan itu entrancenya

Toko souvenir khas Vietnam. Harganya mayan tinggi.
Mending sabar dulu. tahan, beli di Pasar Ben Tanh.




11.30
Setelah dari kantor pos, gue pun sok ngide ke Ochan dan Gege untuk berjalan lagi sekitar 15 menit menuju Masjid Musulman, masjid pusat yang ada di Ho Chi Minh City yang di sekitarnya banyak makanan halal—karena gue belum makan berat pake nasi sejak sarapan di rumah pada saat hari keberangkatan. Sedi. Kami pun berjalan lagi menyusuri jalanan yang gue dan teman-teman mengibaratkan seperti Kuningan-nya Jakarta. Gimana nggak. Deretan hotel bintang lima berjejer sepanjang jalan, begitu juga toko bermerk mahal seperti Versace dan pusat perbelanjaan besar lainnya—meski pemerintahannya komunis, berkat peraturan Doi Moi, mereka udah lama banget jadi negara berekonomi kapitalis kok.  Gara-gara bangunan yang gede-gede itulah, di sepanjang jalan tersebut kami merasa kepanasan karena jarang banget ketemu pohon teduhan. Dasar kumunis-kapitalis abal-abal…

Sampailah juga kami di Masjid Musulman! Berdasarkan petunjuk para blogger yang udah pernah ke HCMC sebelumnya, kami menemukan dua restoran halal yang ada di seberang masjid, yaitu Halal@Saigon dan satu restoran muslim Singapura. Begitu nyamperin dan ngecek menu yang dipajang di depannya…. Glek…… ini mahal banget yha…

Masjid Musulman. Berarti... kalo Jumatan gue harus jalan kaki 45 menit ke mari....
Fasad restoran Halal@Saigon yang terkenal. Belakangan pas gue balik ke Indo,
menurut foodblogger di twitter, di ponpes belakang masjid ada kafetaria halal
yang rasanya enak. Ah, nyesel nggak nyobain! :(


Makanan nasi-nasian dibanderol mulai dari 100.000 Dong, sedangkan sayur-sayur kaya capcay, kangkung, dan sebagainya mulai dari 75.000 Dong. Busyet… cari makanan halal segini banget yak. Kami mengurungkan diri buat makan di sana dan kemudian mencari alternatif lainnya. Sebetulnya sih, di depan masjid persis ada warteg dadakan yang menjual makanan kaki lima –dan ramai sama warga lokal yang makan siang di sana. Cuma, gara-gara yang makan warga lokal semua, gue pun ragu buat ngajak Ochan dan Gege makan di sana. Kami terus jalan lagi…

Namanya juga restoran di daerah mirip Kuningan, harga makanan di mari pun nggak sebanding dengan yang ada di pinggiran hostel bahkan bandara sekalipun. Menyerah dengan perut lapar, akhirnya kita melipir ke GANESH, restoran India yang kelak menyelamatkan hidup kita.

Fine Cuisine, Fine Dining. JENGJENGJENGJENG!

Setelah setuju dengan range harga yang ditawarkan di depan pintu, kami yang kelaparan langsung masuk untuk ngadem dan diarahkan ke tempat duduk sama pelayan, kemudian disiapkan piring dan segala macem sendok garpu kayak restoran mahal. Waduh, ini restorannya fancy bener? Harganya beneran nggak nih, sesuai kaya yang di depan?

Nggak cuma pernak-pernik ruangnya doang,
lagu dan aroma-aromanya pun India banget.
Mas-mas pelayannya juga. 

Menu makanan pun datang begitu kami bertiga udah duduk di meja. Fyuh… untungnya sama..

FYI, gue nggak pernah sama sekali makan di resto India. Gue sangat clueless dengan nama yang disodorin di depan muka. Apaan neh? Menu India utara??? India selatan??? Hah??? Akhirnya, kami bertiga pun nyari menu yang normal-normal dan sekiranya halal… Rice!

Kami bertiga patungan makan, karena porsi yang disuguhin di restoran ini cukup besar. Mereka berdua memesan Biryani with Chicken Curry yang disajikan dalam kuali, sedangkan gue memesan nasi basmati dengan campuran rempah dan nanas dan kismis—yang berdasarkan deskripsinya, kalo di Indonesia mungkin lebih dikenal dengan Nasi Kebuli. Setelah menunggu cukup lama… makanannya pun keluar juga.

ALHAMDULILLAH…ENAKKKKKKK


Rasa karinya sangat enak, nggak se-eneg yang dijual di resto timur tengah ala-ala yang banyak tersebar di Jakarta. Begitu juga kebulinya. Biasanya, kebuli di Indo terkenal akan baunya yang bakal mengisi seluruh penjuru ruangan bahkan nempel di baju selama seminggu. Tapi, nasi kebuli di Ganesh lebih lite dan bersahabat –juga enak- ketimbang yang ada di Indonesia. Air putih yang disuguhkan di sini juga free flow, tiap gelas kita abis, bakal langsung diisiin lagi sama pelayannya.
Gile. Berasa jadi raja-raja di Jodha Akbar.

Sebagai gambaran, menu yang gue pesan sekitar 60.000 Dong, sedangkan Chicken Curry Pot-nya 120.000 Dong. Entah emang kita yang kelaperan atau bumbunya yang emang bérmain, tapi, makan di GANESH sangat memanjakan lidah dan kantong kami!




13.30
Udah kenyang bego, kami pun berjalan kaki lagi balik ke Notredame untuk melihat wajah dalamnya. Sambil nunggu Katedral dibuka, kami dan beberapa orang turis duduk-duduk di depan patung santo yang berada di plaza depan gereja. Sembari selfie-selfie, seorang pedagang pun menghampiri kami, lalu kami menolak tawarannya.


But first, let us take selfie!


“Where do you come from?” Kata pedagang itu
“We are Indonesians”

“Oh… Indonesians. You both looks like Filipinos”

Tadi dikira orang lokal, sekarang dikira Christian Bautista. Hah, aku bisa apa.
Dia pun terus merayu kami dengan Bahasa Melayu/Indo
"Ayo abang. Sepuloh Ribu Dong"
Untungnya kami udah terbiasa pelit kalo ditawarin beginian di Jakarta.

Tepat jam dua, gerbang katedral dibuka. Kami bertiga langsung masuk ke dalam bersama bule-bule untuk merasakan pengalaman ruang yang ada di dalamnya.

Katedral tampak luar
Sudut diorama di Katedral Notredame

Bagian tengah ruang ibadah. Ini kali ketiga gue masuk ke dalem gereja.
Terang bener. Baru bayar listrik apa gimana?
Pose duduk merana, lima menit sebelum ditegor petugas karena nga bole duduk di sana.




Begitu masuk, gue melihat ada dua diorama yang dipasang di setiap sisi pintu masuk kiri dan kanan. Terdapat patung-patung dengan lilin dan background kaca patri yang membuat sekitarnya temaram. Sayangnya, gue belum pernah masuk ke Katedral Jakarta, jadi gue nggak bisa membandingkan apa perbedaan antara yang ada di HCMC dengan yang ada di Indonesia. Meski demikian, gue sangat suka sama material bata di fasadnya! Sayang, vandalisme dan kealayan bangsa Asia Tenggara nampaknya juga terjadi bahkan di negeri semacam Vietnam :(

View dari taman kota: Notredame yang sebrang-sebrangan sama mall kapitalis. 
Sedi, itu isinya tip-ex an semua loh :(




15.00
Kelar makan dan masuk katedral, kini kami berjalan kaki lagi ke salah satu museum yang wajib dikunjungi kalo lagi jalan-jalan ke kota ini. War Remnants Museum, museum yang mendokumentasikan foto, dokumen, bahkan persenjataan tempur yang terjadi sepanjang tragedi kemanusiaan bernama Perang Vietnam. Setelah membayar tiket masuk sebesar 15.000 Dong, kami bertiga langsung disuguhi bekas pesawat bombardir milik Amerika yang terparkir di halaman depan dengan garangnya.

Banyak bule US bernostalgia masa muda kakeknya
\
Iwan Fals pasti demen ni, banyak pesawat tempur



Dat tiger cage, thou...

Sebagai gambaran, museum ini terdiri dari dua area pamer, yaitu area outdoor dan indoor. Selain jadi parkiran pesawat tempur, di bagian luar samping bangunan utama juga berada bekas puing-puing penjara bernama The Tiger Cage, yang nama ini mengandung arti kandang macan, literally. Cara penyiksaannya adalah… kerangkeng berukuran 1.8 x 0.75 x 0.6 meter dipaksa dimasukin sama 5-7 orang. Selain itu, bekas-bekas penjara dan Guillotine—mesin pemenggal kepala yang tenar di abad pertengahan.

Gambaran penjaranya US di zaman Perang Vietnam dulu.
Sumpah, horror banget pas di bagian sini-sini.
Neng jgn deket-deket ntar cilaka

Sementara itu, di bagian dalam museum juga diisi sama materi pameran yang nggak jauh berbeda. Intinya, museum ini mengingatkan pada dunia tentang betapa besar kejahatan tentara Amerika yang menyiksa warga lokal dengan kekuatan militer besar-besaran, bahkan menggunakan senjata biologis yang menyebabkan penduduk setempat tumbuh dalam kondisi cacat (bahkan mereka nampilin janin cacat yang diawetkan di air keras segala. Tapi, gue mana tega motoin bagian ruang pamer yang itu).

Ga ngerti artinya, tapi justru itu alasan kenapa dipotretnya.
Potret sejarah yang paling berkesan.
Ceritanya, dulu tentara US ngibul kalo misalnya
orang dan pemilik rumah tersebut udah kerasukan setan,
makanya harus dibakar hidup-hidup.



16.30
Setelah capek berkeliling, kami kembali jalan kaki lagi menuju hotel yang ada di kawasan Distrik 1 yang agak lebih selatan. Setelah hampir setengah jam, akhirnya kami sampai juga di hostel, kemudian leyeh-leyeh sambil kembali ngobrol dengan David si Bule US—dan ternyata dia juga pernah ke Indonesia. Bahkan, dia pernah ikut meneliti sama IPB untuk ngebahas riset perilaku monyet di Bali.

Secara garis besar, berjalan kaki di Ho Chi Minh City adalah aktivitas yang menurut gue sangat menyenangkan. Selain memiliki fasilitas pejalan yang bagus, adanya pohon yang rimbun di mana-mana juga membuat gue betah jalan meski hari lagi terik karena di sana juga nggak ada debu-debu kopaja. Karena penasaran, demi postingan ini gue mencoba mengukur seberapa jauh kami bertiga berjalan kaki di hari kedua ini. Dan hasilnya….mencengangkan. Seperti yang tertera di bawah ini.



9 KILOMETER ANJIR, 9 KILO JALAN SATU HARI!


Oke. Menjelang malam, Gege dan Ochan pun segera bersiap untuk mandi lalu flight ke Hanoi, sedangkan gue memilih selonjoran sambil ngadem di kamar dormitory. Mereka berdua bakal berwisata fancy selama dua hari, sedangkan gue akan tetep stay satu malam lagi di hostel ini, kemudian menjadi asing sendirian di negeri orang… Gue harus ngapain…

Duh gusti….
*bersambung*

Photo

17/03/2017

di 21:55


Label:

0 komentar:

@rizkidwika

fatwa halal

fatwa halal

Universitas Indonesia


jama'ah