#NekadBlog dari #NekadTraveler Telkomsel Flash!
main-main ke sindang yey, seus!
telkomsel.com/nekadtraveler
tsel.me/TVCNekadTraveler
:3
Petuah orang Jawa, katanya ziarah tanpa bunga bagai hidup tanpa cinta. Akhirnya, sebelum berangkat ke terminal, gue pergi ke Pasar Jatingaleh demi segenggam bunga kubur.
Iya, seminggu di Jawa Tengah membuat gue secara mau nggak mau mengaktifkan bahasa roaming gue. Maksudnya ya, menggunakan bahasa lokal setempat. Percayalah, gue berdialog dengan bahasa Jawa.
Sekilas info, katanya, kalo kita berbelanja atau nawar suatu barang dengan bahasa Jawa, harga yang diberikan si penjual tadi bakal jauh lebih murah.
Well, challenge accepted.
"Mbah, kembang sawure limangewu, nggih?" (Nek, bunga taburnya lima ribu, ya?)
Gue mempraktikan dialog itu kepada nenek-nenek setempat. Lidah gue gatel sendiri.
"Piro le?" (Berape, tong?)
Gue loading, agak lama.
"Nggih, limangewu, Mbah" (Iya, lima ribu, nek)
Gue berhasil.
***
Sesampainya di Terminal Terboyo, Semarang, kami bertiga bertemu dengan Fitri yang semalamnya nginep di kosan teman sesama Lampungnya. Dari sana, kami menggunakan Bus Nusantara menuju Kudus yang ditempuh sekitar dua jam aja.
Setelah melewati hamparan padi, sungai, pasar-pasar, serta Masjid Agung Demak, jam 11.00 kami tiba di Kabupaten Kudus.
Kota ini memiliki predikat sebagai kota kretek, alias kota rokok. Gimana nggak? Beberapa perusahaan rokok nasional berawal dari kota ini, misalnya Djarum, Minak Djinggo, dan masih banyak lagi.
Rokok dan masyarakat Kudus itu satu kesatuan, katanya.
Sebagai pendatang, kalo boleh mengganti gelar kota itu seenaknya, maka gue akan menobatkan Kudus sebagai kota terpanas se-Asia Afrika. Asli, neraka bocor di sana. Puwanas banget.
Begitu sampai di terminal Kudus, kami langsung ke destinasi pertama.
Pesarean, alias pemakaman.
Di Pesarean, gue sempat kesusahan mencari makam Eyang sendiri, karena biasanya setiap nyekar gue selalu bareng sama keluarga. Sori, agak keliatan ya, durhakanya.
Nah, berbekal nggah-nggih-nggah-nggih lagi, akhirnya makam Eyang Kakung ketemu juga.
Kami berdoa secara khidmat, tapi nggak lama, Dezky menghancurkan kekhusyu'an tersebut.
"Fat, fotoin gue dong. Kuburannya keren, kaya di mana gitu, nisannya warna-warni"
Dengan sedikit paksaan, akhirnya jadilah foto bertema mysterious gothic di atas.
Gue nggak tahu apa motivasinya.
Selain terkenal dengan rokok, Kudus juga terkenal dengan......... sotonya!
Di Kudus, soto bisa dibilang unik kalo dibanding sama kota-kota lainnya. Setiap pedagang soto di sana menawarkan dua pilihan, yaitu soto ayam dan soto kebo. Iya, kebo yang itu.
Bener aja, bro. Di Kudus, kebo didayagunakan nggak cuma buat bajak sawah aja, tetapi juga diolah menggantikan daging sapi. Uniknya, ada cerita tersendiri di balik penggunaan daging kebo ini.
Waktu era penyebaran Islam di Tanah Jawa, Sunan Kudus memerintahkan pada muslim di kota itu untuk menyembelih kerbau, bukan sapi. Hal ini ditujukan untuk menghormati pemeluk Hindu di Kudus, karena di agama Hindu sendiri, sapi merupakan hewan yang disucikan.
Maka jadilah kebo sebagai makhluk multifungsi di Kudus.
Dari Pesarean, kami berempat ngebecak menuju salah satu cabang soto yang terkenal di sana, Soto Bu Jatmi di daerah Panjunan. Setelah ngebecak-ngebecak cantik, kami tiba di sana, memesan empat porsi soto kebo serta lauk-lauk gorengan seperti perkedel, sate jeroan, dan..... otak sapi goreng. Favoritku! :3
Abis kenyang, kami kembali ngebecak lagi menuju salah satu destinasi wisata yang paling terkenal di Kudus: Masjid Menara!
Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan Sunan Kudus waktu menyebarkan islam di sana. Yang unik dari masjid ini adalah....... arsitekturnya.
(men, gue liburan, ngapain bahas beginian -___-)
berterimakasihlah pada Wikipedia.Org |
Yang bikin menara ini unik, biasanya konstruksi candi di Jawa menggunakan putih telur sebagai perekat, tapi menara masjid ini nggak memakai barang sebutir telur pun, loh.
Jangan tanya, gue juga nggak tahu gimana cara nyatuinnya gimana.
***
Wisata di Kudus telah selesai, jam tiga sore kami memutuskan untuk pergi ke Jepara. Mengejar matahari terbenam, ceritanya.
Lagi-lagi, berbekal nggah-nggih-nggah-nggih, entah keajaiban dari mana, kami bisa melalui perjalanan itu dengan selamat.
Dari Kudus ke Jepara, kami harus menaiki minibus dari Terminal Jetak.
Busnya penuh, tapi berhubung kami berempat naiknya duluan, jadi kami bisa asik sendiri di kursi belakang.
Asal tau aja, penduduk di daerah yang kecil seperti itu kayanya hidupnya bahagia banget, kaya nggak ada beban hidup sama sekali. Muka mereka lebih bebas, beda jauh sama kami berempat yang udah terkontaminasi bau kota.
Bus terus jalan. Gue melanjutkan karaoke teruskanlah-nya Agnes Monica diiringi sound system bus yang berdegup kencang.
Setelah satu jam, kami bingung turun di mana.
Awalnya kami bakal ke Pantai Bandengan, namun karena target mengejar sunset takut nggak tercapai, kami memilih ke Pantai Kartini yang lebih dekat.
Berdasarkan nggah-nggih-nggah-nggih lagi, kami turun di bibir gang menuju Pantai Kartini, kemudian jalan sekitar setengah kilometer.
Kawasan pantai lagi rame-ramenya. Usut punya usut, Ada Band lagi ngadain tur di sana.
Oke, kami kesini bukan buat nonton Doni Ada Band dan kawan-kawan kok, sungguh.
Anyway, Pantai Kartini jauh dari ekspektasi gue yang mendambakan pasir putih, ombak, dan laut berwarna cyan.......
Tiba-tiba, bapak-bapak dengan toa-nya meneriaki pengunjung untuk menyeberang ke Pulau Panjang.
Sebagai Manusia-Yang-Nggak-Pernah-Menyeberangi-Pulau-Jawa, gue langsung tergugah untuk mengajak Dezky, Fatah, dan Fitri.
Dengan perahu motor, kami menyeberangi pulau yang jaraknya ditempuh sekitar lima belas menit.
Lima menit pertama, gue memandang pesisir Jawa sambil berkaca-kaca, kemudian mereka menyelamati gue satu per satu. Sisanya, gue nyelupin tangan ke dalam laut, mainan ombak, sambil teriak-teriak imbisil.
Laut, pantai, sunset, gue adalah makhluk paling berbahagia pada saat itu.
Apa itu taksi mbalen?
...........................
...................
.............
.......
Ber-sam-bung.