The Cast
(Kiri-Kanan)
Dezky Oka
Mahasiswa baru SBM ITB 2012.
Di postingan selanjutnya akan diceritakan saat dia memasang avatar di kuburan bertemakan mysterious gothic guy untuk memikat hati-hati yang kesepian.
Di postingan selanjutnya akan diceritakan saat dia memasang avatar di kuburan bertemakan mysterious gothic guy untuk memikat hati-hati yang kesepian.
Rizki Dwika
Adik lain ayah lain ibu dari David Archuleta. Fans berat Maia Estianty.
Tidak bisa hidup tanpa Big Babol di sisinya. Satu lagi, baru kecopetan.
Tidak bisa hidup tanpa Big Babol di sisinya. Satu lagi, baru kecopetan.
Fitriani dan Fatahillah.
Pasangan kekasih yang lain kampus. Mengaku siap kawin lari kapan saja.
Obsesi terbesarnya memiliki dua anak kembar yang kelak dinamakan
seperti kereta Jakarta-Jogja, yakni Gajahwong dan Bogowonto.
***
Keterangan: Postingan ini diangkat lagi untuk mengikuti kontes
#NekadBlog dari #NekadTraveler Telkomsel Flash!
main-main ke sindang yey, seus!
telkomsel.com/nekadtraveler
tsel.me/TVCNekadTraveler
:3
Obsesi terbesarnya memiliki dua anak kembar yang kelak dinamakan
seperti kereta Jakarta-Jogja, yakni Gajahwong dan Bogowonto.
***
Keterangan: Postingan ini diangkat lagi untuk mengikuti kontes
#NekadBlog dari #NekadTraveler Telkomsel Flash!
main-main ke sindang yey, seus!
telkomsel.com/nekadtraveler
tsel.me/TVCNekadTraveler
:3
Lasbeg is back!
Juni lalu, empat orang bego ini kembali dipertemukan Tuhan dalam petualangan menakjubkan.
Kelar ditumpangin Dezky yang kembali mengikuti tes SNMPTN di Depok, gue yang kala itu sudah memasuki musim liburan memutuskan untuk ikut dia kembali ke Semarang. Selain melepas penat dari semester dua yang bikin sakit jiwa, tujuan gue ke Semarang saat liburan ini adalah demi sebuah investasi.
Investasi yang dimaksud adalah di sana gue punya banyak keluarga besar, nah, semakin banyak anggota yang disinggahi maka semakin banyak pundi-pundi salam tempel yang gue dapatkan.
Ngerti maksud gue kan?
Betapa culasnya seorang Rizki Dwika.
Nah, 17 Juni 2012, gue dan Dezky ambil 'flight' malem dari Stasiun Pasar Senen. Besoknya, pagi buta sekali kami mendarat di Stasiun Semarang Tawang.
Singkat cerita, beberapa hari setelah itu, ternyata Fitri dan Fatah mengagendakan untuk menyusul kami juga. Setelah semua personel lengkap, kami pun memulai Sabtu malam ceria di kota yang panasnya naujubila itu dengan menunaikan nazar di Pizza Hut Sukun.
Di semester dua yang lalu, saat ujian akhir aljabar linier dan diiringi petir serta rinai hujan, gue dan Fitri sempat bersumpah bakal nraktir kalo kita lulus dengan nilai B+ dan B.
Di akhir publikasi nilai, target gue dapet B+ tepat, sedangkan doi dapet A-.
Agak gila aja sih, UTS dan UAS kita sama, tapi poinnya dikasih beda.
Ternyata, kesetaraan gender belum diterapkan di kampus ini.
Perjalanan dilanjutkan dengan tambahan peserta baru, yakni Satsu, temen sepergaulan Fitri di udiknya, Bandar Lampung. Kami berlima menuruni Semarang 'atas', kemudian menggaul di Jalan Pemuda, jalan paling asyik kala malam hari di kota itu.
Puas nongkrong di sana, kami beranjak ke destinasi berikutnya. Lawang Sewu.
visualisasinya kayak gini, deh (courtesy of tua-tradisionil.blogspot.com) |
Yoi men. Lawang Sewu kini jauh dari kesan angker.
Semua gedungnya direnovasi besar-besaran, dicat sana-sini, serta dipasang pencahayaan outdoor maupun indoor. Lawang Sewu sekarang tampil romantis, jauh berbeda saat gue dan sodara gue ke sana empat tahun yang lalu.
(Empat tahun yang lalu) Saat foto depan kaca kamar mandi masih ngehits dan dianggap lagi unyu-unyunya |
Gambar Kerja Lawang Sewu Nggak kebayang berapa malem mereka begadangnya |
Bukannya mengetahui tentang sejarahnya, misteri, atau sisi gelapnya, secara random bapak pemandu itu malah menjelaskan aspek arsitektural bangunan Lawang Sewu.
Penjelasan ini makin menjadi setelah sang pemandu tahu kalo gue adalah mahasiswa arsitektur.
Bapak itu menjelaskan, Belanda merancang Lawang Sewu sedemikian rupa. Berawal dari Kantor Jawatan Kereta Api, Lawang Sewu dibuat dengan perhitungan presisi. Bagaimana terjadi kesimetrian bentuk, letak langit-langit yang tinggi untuk pengudaraan, juga pertimbangan pergerakan manusia. Kampretnya lagi, rombongan diantar ke sebuah ruangan museum yang memajang contoh material beton yang digunakan bangunan ini dan gambar kerja arsitektural dari Lawang Sewu.
Hati gue menjerit. Pak, cukup pak, cukup!
Ekspektasi pertama gue ke tempat ini adalah ingin mengenang lokasi syuting Ayat-ayat Cinta, film Indonesia paling gue gila-gilai, dan kembali menirukan dialog opening filmnya:
duh, saya juga butuh kamu, mas |
"Maria,... Maria..."
"Fahri?"
"Ana, ana bata!"
"Kamush Arobi?"
"La,.. la!"
"Kamush, English?"
"La,... la!"
"Eee?"
"Ana, ana baata anta ilasya'ati! Diluati!"
Ini kali kesekiannya gue nggak tenang saat liburan, dan mungkin, mahasiswa Arsitektur memang ditakdirkan untuk nggak bisa menikmati liburan.
Misalnya, waktu gue jalan-jalan, setiap nemu gedung yang lagi di bangun, gue langsung kepikiran elemen pembentuk bangunannya: bagaimana balok, kolom, atap, pondasi, konstruksi beban, material, dan hal-hal berbau semen lainnya.
Fix, gue ke Semarang dalam rangka studi tur.
Nah, setelah puas berkeliling gedung, pandangan gue tertuju pada lokomotif tua yang dipasang di halamannya. Kami pun ke sana untuk bermain-main.
Sebelas-duabelas sama orang bego, kami me-reka ulang adegan Wild West, di mana para koboy melakukan aksi tembak-tembakan di atas kereta yang lagi jalan. Demi menghindari tembakan musuh, gue pun nyobain sendiri gimana rasanya selonjoran di bawah lokomotif dengan posisi menahan berat badan pake tangan.
Satu lagi obsesi bodoh dalam hidup gue terselesaikan.
***
Wisata malam kami belum selesai.
Kelar nge-drop Fitri di kosan temennya, kami melanjutkan perjalanan a la laki-laki di Semarang. Dipimpin oleh pria jalang bernama Dezky, dengan iring-iringan tiga motor, kami menuju pusat remang-remang 'Sunan Kuning' di kawasan Kali Banteng yang letaknya dekat bandara Ahmad Yani.
Sesampainya di sana, gue speechless.
Deretan rumah sederhana dicat mentereng serta dilukis gambar-gambar di bak truk pantura. Tak lupa, plang lokasi bertuliskan nama-nama centil seperti Barbie, Lucky, dsb. dipajang di depan untuk mengundang pengunjung masuk ke sana.
Beberapa penjajanya terlihat duduk santai di luar. Ada yang ceking, yang berisi, original, banci permak seadanya, ada juga mbak-mbak yang rambutnya dicat supaya mirip Beyonce namun apa daya wajah membuatnya mirip personel Trio Macan.
Nothing to do here, I said.
Kelar zinah mata, kami meninggalkan lokasi terlarang itu.
Ng...nggak usah nanyain foto. Waktu masuk kompleks itu aja gue nggak lepas dari istigfar.
Kurang puas, ternyata, si pria jalang kembali mengajak kami ke daerah lainnya.
Dekat Pasar Johar, di balik gelapnya gedung-gedung tua peninggalan Belanda, terdapat lokasi sejenis lainnya, namun jablay-jablaynya standby di pinggir jalan layaknya pedagang hawa nafsu kebanyakan.
Karena motor Satsu dan Fatah takut nantinya tiba-tiba ditumpangi mereka saat uji nyali melintas di sana, akhirnya cuma gue dan Dezky yang berani ngelewatin mereka.
Begitu melintasi jalan itu, tangan-tangan lencir tapi perkasa itu melambai-lambai.
Motor terus melaju konstan. Pertama kali dalam sejarah, Dezky tidak mengagung-agungkan kegantengannya.
***
Selesai wisata malam, kami berempat nongkrong di Polder Stasiun Tawang sambil menikmati orang yang mancing tengah malem.
Sambil sayup-sayup terdengar lagu Gambang Semarang dari stasiun Tawang yang menandakan ada kereta eksekutif yang datang, kami memutuskan untuk pulang dan menyiapkan tur selanjutnya yakni ke Kudus dan Jepara di esok harinya.
Di tengah jalan, gue menerawang.
Semarang bukan kota yang baru gue kenal kemarin sore.
Bagi gue, Semarang itu kampung halaman.
Surga yang nggak bakal abis dieksplor dalam satu hari.
Setiap ke kota ini, selalu ada aja cerita dan pengalaman baru yang gue dapatkan.
Yang jelas, setiap ke kota ini, gue jatuh cinta.
. . .
. .
.
3 komentar:
7 August 2012 at 08:38
Permalink this comment
menariikk gan :)
11 August 2012 at 22:43
Permalink this comment
Wah, asiknyaa traveling xD
21 September 2012 at 19:01
Permalink this comment
lawang sewu sudah gak angker lagi yah? :D