Selamat berusia kepala dua, gengs!
Di pertengahan bulan April kemarin, alhamdulillah, gue telah memasuki paruh usia kepala dua. Selain
libur long weekend yang di-provide oleh
pemerintah menyambut paskah, sebenernya nggak ada yang terlalu spesial. Tapi,
hari berikutnya, gue mendapat kejutan dari anak-anak Geng Sobatbumi Goes To
Purwakarta yang rela datang jauh-jauh ke Summarecon Mall Bekasi. Setelah makan dan
jalan-jalan di event Pasar Senggol bareng mereka, tiba-tiba, gue dikejutkan
dengan kehadiran LaskarBego, empat orang bego yang kuliah di kampus big three yang udah dua tahun nggak
kumpul bareng disebabkan jalan yang berbeda dengan garis takdir Tuhan. Terus
gue kaget, tapi tenang aja, nggak sampe nganga-nganga kayak Miss Venezuela. Ya
udah deh, berikut kolase fotonya.
Oke. Di usia yang katanya semakin tua mature ini, gue bakal membahas
perpolitikan Indonesia. Doain gue nggak langsung deactive account kayak mas-mas selebtwit bejat yang mem-publish tulisan dengan topik yang sama.
Sip pemirsa.
Pemilu kemarin adalah kali pertama gue nyoblos. Meski nama
gue terdaftar di TPS yang berada jauh dari Bekasi yakni di negeri antah
berantah bernama Grogol, nggak membuat gue mengurangi antusiasme buat nyoblos kertas
suara edisi perdana. Setelah menimbang, diskusi, dan kepoin visi-misi partai
dan kandidat caleg lewat berbagai situs pemilih pemula yang tersedia, akhirnya pilihan
gue pun jatuh kepada... partai petahana.
Dafuq?
Serius Dwik? Lu ga pernah nonton tipi? Anak muda macem paan lu? Kepincut parasnya
Sutan Batugana?
Men. Menurut gue, bakal lebih ‘anak muda macem paan lu?’ kalo
opini kalian tentang politik cuma berbasis setiran media massa dan pemiliknya doang.
Ya, seperti yang malaikat juga tahu, sebagai pilar demokrasi
keempat, pers di masa-masa pemilu kayak sekarang ini udah jarang sekali yang
berimbang. Bahkan, udah jadi rahasia umum kalo ruang redaksi pemberitaan selalu
kena intervensi sama kepentingan boss-boss
pemegang saham. Misalnya, beberapa waktu yang lalu insan pertelevisian dicekoki
sama tayangan kuis interaktif yang menjanjikan hadiah dari pasangan capres yang
layu sebelum berkembang. So, gue memutuskan
buat menyumbangakan hak politik gue kepada partai tersebut berdasarkan apa yang
gue rasakan sejak kelas enam, bukan dari komentar pedas dan umpan lambung para news anchor di stasiun teve setiap harinya.
Nggak cuma itu doang. Salah satu alasan kenapa gue masih
simpati dengan partai ini adalah proses seleksi capres yang tengah dilakukannya,
yang diberi nama konvensi.
Nggak kayak partai lainnya yang cuma ada stok lama dan
figurnya itu-itu aja, dalam konvensi capres ini, ada sebelas menu dengan cita
rasa berbeda yang ditawarkan buat nantinya dipilih penduduk Indonesia. Sistemnya
terbuka: pemenangnya diambil dari perang gagasan dan debat di depan publik, bukan
dari wangsit Tuhan, legitimasi ketua umum, nyamar jadi orang susah di pasar, apalagi
sekadar mandat dari nyonya besar. Dan... pada hari Minggu (27/04) kemarin, gue berniat
buat menuntaskan rasa penasaran gue dengan nonton langsung Debat Final Konvensi
Calon Presiden Partai Demokrat yang diadakan di Grand Ballroom Hotel Sahid,
Jakarta.
Pada aksi pembelajaran politik terang-terangan yang gue lakukan pertama kali ini, gue memilih buat gabung dengan relawan “Turuntangan”, pasukan militan anak muda pendukung Mas Anies Baswedan. Kenapa Turuntangan? Karena, sebagai pendukung Anies dan kadang-kadang Gita yang cuma aktif stalking di dunia maya, gue selalu takjub setiap melihat Mas Anies orasi di depan publik. Dia dan gerakan Indonesia Mengajar-nya sukses menginspirasi anak muda di Indonesia buat melakukan aksi nyata, bukan sekadar komentar, ngedumel, apalagi nyinyirin orang belaka.
Singkat cerita, gue berangkat kesiangan dari rumah, langsung
menuju Stasiun Kranji buat ketemu relawan lainnya di FX Senayan. Di dalam kereta,
gue melihat mas-mas dan mbak-mbak berusia 17-25an berbaju merah yang membagikan
koran dengan seragam kaos bergambar tangan yang lagi dadah-dadah. Yoi, ternyata
mereka adalah team @TurunTanganBKS. Gue langsung nyamperin mereka, disambut, langsung
dikasih atribut dan diajak buat melakukan aksi #KejarAnies, yaitu kegiatan ngenalin
Mas Anies dan program turun tangan ke masyarakat umum sepanjang perjalanan.
Dengan kuatan Tongsis, akan menghukummu! |
Setelah nyambung kereta menuju Sudirman dan naik
Transjakarta, kami pun bertemu dengan temen-temen #Turuntangan lainnya yang
udah siap dengan balon-balon harapan yang udah disediakan. Yoi, rencananya,
selagi jalan dari FX hingga Hotel Sahid, kami bakal membagikan balon tersebut
ke masyarakat yang lagi CFD-an, dengan syarat mereka harus menuliskan alasan
kenapa mereka masih memilih optimis terhadap nasib Indonesia ke depannya.
Sesi briefing. Iya, ada mas ganteng admin blog ini yang lagi ngecek path :3 |
Balon Harapan! |
Matahari terik? Nggak masalah :)) |
Saya optimis untuk Indonesia :) |
Sekitar jam setengah sepuluh, kami tiba di tempat kejadian perkara. Nggak cuma relawan Mas Anies, kami juga bersinggungan dengan pendukung-pendukung lainnya, relawan Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, dan lain-lain yang kostumnya didominasi warna putih dan biru. Semut-semut merah yang atributnya ngejreng sendiri ini langsung digiring sama koordinator buat menuju lobi, terus naik ke lantai dua tempat konvensi bakal diselenggarakan.
Kabar buruk. Ternyata, buat di sesi satu debat ini, nggak
seluruh relawan diizinkan masuk karena keterbatasan ruang yang tersedia. Akhirnya,
sebagian besar relawan cuma bisa ngobrol dan ngegosip di luar, sambil streaming
Useetv buat nonton debat bernegara yang sebenernya cuma terpisahkan oleh tembok
dan pengamanan Paspampres doang. Setelah nungguin sampe kering, akhirnya para
relawan dipersilakan buat nyicipin prasmanan yang udah disediakan. MAAKAAAN!
Ehem. Harapan gue dan temen-temen relawan buat bisa masuk ke dalam
hall terkabul di sesi kedua. Setelah
tamu berangsur pulang, relawan Turuntangan langsung merangsek masuk dan memerahkan
posisi yang telah disediakan. Sebelum debat, Bang Moderator mengecek satu per
satu suara pendukung dari masing-masing capres dari nomor urut satu hingga
sebelas. Begitu nama Anies dipanggil, kami langsung menjerit histeris layaknya WOTA yang berhasil dicium Melody JKT48.
“KAMI-RELAWAN-BUKAN-BAYARAN. KAMI-RELAWAN-BUKAN-BAYARAN. KAMI
RELAWAN-BUKAN-BAYARAN.” Yel-yel itulah yang membakar semangat ballroom Hotel Sahid sebelum debat sesi
kedua resmi dimulai. Pertanyaan pertama dilontarkan panelis yang mempermasalahkan
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Mas Anies mendapat giliran pertama untuk
menjawab.
Gue kira, sistem debat Partai Demokrat bakal berlangsung layaknya pertarungan para tribut yang ada di film Hunger Games. Ternyata nggak. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab Mas Anies dan sepuluh
peserta konvensi lainnya dengan baik. IMHO, kesemuanya punya gagasan yang cerdas
dan realistis, bukan cuma bilang “nggak urus... nggak urus... miskan, miskin,
miskan, miskin”. Hingga akhirnya memasuki pertanyaan pamungkasnya adalah closing remarks dari mereka yang telah
diundang buat terjun ke dalam konvensi demokrat. Mas Anies dapat giliran penutup.
Semua relawan yang duduk di pojok berdiri sambil memegang tulisan dukungan buat
Anies Baswedan.
“Kami mendorong sebuah ikhtiar politik bersih Turuntangan. Jika anda ingin orang-orang baik menang, maka bantulah mereka. Tapi jika anda ingin orang bermasalah menang, maka Anda duduk diam. Indonesia memiliki banyak masalah, bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena orang-orang baik memilih diam dan mendiamkan. Mari kita turun tangan!”
Gue dan para relawan langsung merinding, mbrambang, sembari mbrebes mili. Harusnya gue aktif turuntangan dari zaman kapan tahu kalo tau kayak gini.
Debat Final Konvensi Partai Demokrat diakhiri pidato Presiden
SBY dan foto bareng relawan featuring
Mas Anies dan keluarga. Btw, gue berhasil salaman dua kali sama Mas Anies
Baswedan!!! KYAAAA!
Gue bawahnya Mas Anies Baswedan, yang palanye nengok kanan.... |
Setelah ini, kelanjutan nasib para capres Konvensi Partai Demokrat bakal dikembalikan pada jajak pendapat yang dilakukan ke rakyat. Selain membuktikan langsung bahwa Pak Gita Wirjawan gantengnya emang bukan oplosan, dengan menghadiri debat publik ini secara langsung, gue jadi tahu bahwa konvensi merupakan cara yang paling benar buat menentukan siapa capres yang layak diajukan. Mudahnya gini. Manusia dibiasakan sama penciptanya buat bersaing secara sehat sepanjang hayat, berangkat dari lomba lari antarsperma, ikut UN, harus lulus SNMPTN, ikut CPNS, dan lain sebagainya.
Apakah cukup orang yang modal nekad dengan visi-misi yang masih OTW dibikinin sama timsesnya dapat dipercayai buat mengomandoi republik besar bernama Indonesia?
SALAM TURUNTANGAN! :)
0 komentar: