Tulisan ini ditujukan bagi kalian yang masih bingung
menentukan pilihannya.
Gue bukan siapa-siapa. Gue bukanlah anak FISIP, Hukum,
apalagi FE yang topiknya menjadi isu utama dalam pertarungan capres-cawapres
hingga lima kali di teve nasional. Gue cuma mahasiswa arsitektur interior, bidang
yang sama sekali nggak seksi buat diperdebatkan –coba, emangnya ada yang sudi bayangin
capres kita memperjuangkan keadilan harga properti yang naik mulu setiap Senin?-
Oh iya, satu lagi. Gue adalah blogger dan mahasiswa biasa, yang paling banter cuma gabung tiga tahun
di majalah sekolah plus dua tahun di pers kampus serta nggak pernah terlibat
demonstrasi. Jadi, mohon tulisan ini jangan terlalu diambil emosi.
***
Tulisan ini ditujukan bagi kalian yang masih mempersilakan
nalarnya untuk terbuka.
Dua bulan belakangan adalah masa-masa paling membosankan
setiap membuka social media. Parapengguna
facebook dan twitter kita masing-masing terbelah. Sebagian berafiliasi ke capres
A, sisanya lagi ke capres B. Yang satu nyebarin link dari situs berita ABC, yang satu lagi dari rivalnya di situs
DEF. Bales-balesan postingan pun semakin menjadi ketika malam debat kandidat
disiarkan.
Dua jam sebelum tayang, seisi timeline udah mulai panas. Siapa saja, nggak terkecuali gue pribadi
berduyun-duyun buat mengomentari performa setiap capres secara nyinyir sembari mengintimidasi
berbagai twit artis, selebtwit, akademisi, bahkan temen-temen sepermainan kita
sendiri.
Gue jadi teringat pada malam di salah satu debat, kalo nggak
salah waktu itu temanya pertahanan. Begitu gue hendak ikutan nyampah di
linimasa, tiba-tiba, temen gue yang anak hukum me-reply tweet gue dan
mempersilakan gue untuk fokus bikin rumah aja ketimbang ngomentarin apa yang
bukan jadi keilmuannya. Jadilah malam itu gue memutuskan buat meramaikan
twitter dengan komentar sesuai keilmuan gue: dari segi tata panggung, akustik,
dan pencahayaannya aja.
***
Tulisan ini ditujukan bagi kalian yang keseringan dicekoki
berita simpang siur sini-sana.
Sepertinya mustahil buat memisahkan kampanye negatif maupun
kampanye hitam dengan pilpres dan social
media. Disadari atau tidak, sebagian dari kita dan temennya masing-masing
pernah saling silang pendapat dan menjelekkan antarpasangan capres yang sudah
pasti banyak cacatnya.
“Capres yang itu
pindah-pindah mulu kayak dajjal!” “Capres
yang itu monokotil!”“Capres yang ono
berideologi KPI!” “Kabar gembira buat kita semua! Capres nomor sekian kalo minum
mastin nggak pake bismillah!” (Mastin…guuud, anyway).
Pilpres semakin dekat. Di tengah perang argumen timses serta
para relawan itu, lama-lama gue juga harus menentukan sikap harus nyoblos siapa
untuk pertama kali nantinya. Sebagai manusia yang pernah mengharapkan poros
ketiga Golkar-Demokrat yang bisa mengusung Anies Baswedan, akhirnya gue
memutuskan untuk memilih dan mendukung calon nomor urut satu, Prabowo Subianto
dan Hatta Rajasa. Kenapa?
Banyak alasan mendasar yang membuat gue mendukung mereka
secara terang-terangan. Di luar performa keduanya yang meyakinkan saat debat
kandidat, secara subjektif gue mengatakan bahwa keduanya lebih capable, menguasai medan, dan nggak mencla-mencle ketimbang pasangan yang
satunya. Baik Prabowo maupun Hatta menawarkan konsep menyelamatkan Indonesia yang
udah dipersiapkan dari lama, karena keduanya pernah mendeklarasikan diri
sebagai bakal calon presiden sebelum Pileg digelar. Dua-duanya nggak sekadar secara
terang-terangan mau dan sanggup nyapres doang, mereka melengkapi diri mereka dengan
visi-misi yang bakal diusung apabila diajukan beneran oleh partai, persenjataan
yang jauh lebih penting dibanding elektabilitas dan hasil survey.
Lebih jauh lagi, di luar sikap timses masing-masing, sosok
Prabowo dan Hatta menurut gue jauh lebih santun dalam menghadapi lawan
tandingnya. Rasanya kurang pantes aja kalo ada pemimpin yang terlahir sebagai penyerang
dan tukang sindir, sikap khas politisi yang masih jauh untuk bisa dikatakan sebagai seorang negarawan. Mau minta
bukti? Silakan baca sebentar di sini, sini, dan sini.
Karena pilihan gue yang antimainstream inilah, di dunia
maya, gue rela menjadi minoritas politik di kala kebanyakan orang berbondong-bondong
memasang avatar yang katanya di sisi yang benar sembari ngetwit salam gigit
jari. Nggak mau kalah, gue pun tetap kekeuh dengan pilihan gue karena gue berada
di sisi yang lebih benar, Logical Side, sejalan dengan Ridwan Kamil dan Mamah Dedeh yang
mengatakannya tersirat di acaranya di teve swasta. Mereka berdua lebih bisa
meneguhkan pilihan gue ketimbang selebtwit yang biasa dipake sebagai buzzer oleh produk-produk yang membuka
lapaknya di twitter maupun instagram.
Gara-gara minoritas juga, di twitter, gue pernah tiba-tiba diserang akun pasukan nasi bungkus yang
ngatain gue dengan pujian “bego”. Gue
pun sempat diserang oleh seorang teman sampe ngalor-ngidul adu argumen, hingga
dia mengingatkan gue bahwa capres yang gue usung adalah tukang ngutang dengan jumlah
yang nggak tanggung-tanggung, 14 triliun. Gile
bray, entah sebanyak apa cimol yang bisa didapatkan capres gue dengan duit sebanyak
tadi.
Media, politik, duit, dan keengganan buat melihat sesuatu secara
cover both side adalah komposisi yang
pas untuk terus membesarkan kampanye hitam. Buktinya, seperti yang dilansir KPK
beberapa hari yang lalu, Prabowo justru menjadi kandidat yang memiliki jumlah
hutang paling sedikit dibanding yang lainnya. Gue cuma ketawa. Hari gini masih
mau disetir media abal-abal, apa kata dunia?
***
Tulisan ini ditujukan bagi yang berkoar-koar mengenai hak
asasi manusia.
Nggak terhitung jumlah selebtwit bahkan temen-temen gue
sendiri yang mengatakan bahwa Prabowo adalah tukang culik dan salah satu pelanggar
HAM terbesar di Indonesia.
Bukannya bermaksud meremehkan sejarah kelam reformasi, tapi mengenai
kasus ini, gue memutuskan untuk netral dan nggak berkomentar banyak meski udah nyari
tahu sendiri lewat kisah dari blog orang, pemberitaan, dan lain sebagainya.
Alasannya begini. Di usia segitu, gue belum bisa mikir secara kritis apa yang sebetulnya
sedang terjadi pada negeri ini. Hal yang gue paling gue inget di zaman itu
adalah ngunjukin duit kertas lima ratusan sambil ngecengin “dadah monyet” ke
temen-temen di sekolahan.
Seinget dan sebisa mikirnya gue, pelanggaran HAM terbesar
yang gue rasakan justru saat keamanan gue sekeluarga—dan mungkin kalian juga- terenggut
akibat gagalnya pemerintah mengantisipasi terorisme di Indonesia.
Coba kembali sejenak ke tahun 2000-an. Waktu itu, gue masih
SD. Setiap pulang sekolah, wali kelas gue mengadakan les tambahan bagi anak
didiknya. Jadi, pas anak-anak kelas lain udah pada balik, gue dan temen-temen
harus nunggu jam les tambahan dimulai sambil main buaya-buayaan atau ngadain dua
nobar di ruang tata usaha. Nobar yang pertama, nonton pertandingan Piala Dunia
Korea-Jepang, nobar yang kedua, nonton liputan terkini yang ada di berita.
Kedubes anu dibom. Hotel dan kafe ini dibom. Diimbau tidak
pergi ke sana. Diimbau tidak pergi ke mari. Indonesia kena ban dan travel warning dari
negara-negara asing. Nggak sebatas itu doang. Kepala negara kita juga lembek, ciut dan
kurang dihargai forum internasional. Ya, Kita semua pernah merasakan masa-masa itu,
kondisi yang berbeda 180 derajat dengan apa yang kita rasakan hari ini.
Bom Bali 1, 2002 |
|
Lalu, apa kabar petinggi militer dan intelejen yang harusnya
bertanggung jawab atas masa-masa itu? Mereka sekarang kompak menjadi orang
balik layar bagi pasangan capres-cawapres lainnya. Bahkan, salah satunya ada
yang sempat ngartis dan meluangkan masa tuanya buat narik becak sambil jadi
kenek kopaja. Satu kambing hitam versus belasan yang nggak lepas tanggung
jawab. Mau pilih yang mana, monggo, dipersilakan.
Jadi, masih ada anak 90’an yang berteriak hak asasi? Gue
jadi keinget celotehan komikus dan capres imajiner @JukiHoki yang mengatakan
kurang lebih begini. “Nggak usah bicara hak asasi kalo misalnya lu sendiri
masih suka ngerokok di depan umum”
Sudahkah kita menghargai hak orang lain dari yang paling
kecil? Satu pertanyaan yang bisa kita jawab sendiri-sendiri.
***
Tulisan ini ditujukan bagi kalian, kita semua, anak-anak
generasi 90-an.
Di sini gue cuma mencoba menulis unek-unek hasil pemikiran di
blog, di rumah gue sendiri. Identitas gue di sini jelas. Gue bukan sosok anonim
yang menulis demi sekepal nasi bungkus di Kompasiana.
Meski jurusan gue meleset banyak dari perihal berbangsa dan
bernegara, gue sadar betul bahwa ke depannya kita punya tantangan besar bernama
AFTA: saat di mana orang maupun barang dari setiap negara Asia Tenggara dan
China bisa tinggal dan berpindah sebebas-bebasnya. Kapabilitas calon dan kewibawaan,
sesuatu yang menurut gue sifatnya adalah gifted,
sangat dibutuhkan Indonesia di masa mendatang. Tegas bukan berarti otoriter. Penekanannya pada poin itu. Prabowo sebagai orang militer juga bisa berdemokrasi, bahkan indeksnya lebih tinggi ketimbang rivalnya, bisa dilihat di tautan ini.
(survey dilakukan secara kualitatif, bukan jumlah loh ya)
.
(survey dilakukan secara kualitatif, bukan jumlah loh ya)
.
Maka dari itu, in my humble
opinion, pemimpin yang merakyat dan dikesankan bersahaja nggak lagi relevan
buat menghadapi kondisi segenting nanti.
Harus ada pemimpin nasional yang nggak sekadar bermodal makan-di-warung-pake-tangan-lantas-beritanya-dimuat-di-koran, tetapi pemimpin yang harus cerdas, mampu, dan sanggup menjaga kedaulatan Indonesia dari gangguan tetangga-tetangga culas yang siap menerkam kapan aja.
Harus ada pemimpin nasional yang nggak sekadar bermodal makan-di-warung-pake-tangan-lantas-beritanya-dimuat-di-koran, tetapi pemimpin yang harus cerdas, mampu, dan sanggup menjaga kedaulatan Indonesia dari gangguan tetangga-tetangga culas yang siap menerkam kapan aja.
Mau negara kita cuma sebatas kucing pasar atau macan asia, terserah kalian aja.
Tapi, gue memilih turun tangan bersama
Prabowo-Hatta.
------
Penulis adalah mahasiswa tahun terakhir di kampus paling
kuning se-Indonesia. Mohon doanya supaya cepat mendapat pendamping wisuda.
3 komentar:
7 July 2014 at 09:54
Permalink this comment
Bagus tulisannya :)
ayo kita sama2 menyelamatkan Indonesia.
10 July 2014 at 23:04
Permalink this comment
Selamat kakak terpilih mendapatkan 'The Liebster Award' dari aku.
Info lebih detail cek di: http://gebrokenruit.blogspot.com/2014/07/the-liebster-award-bukan-penghargaan.html
Makasih kakak
Salam dari Galassia del Sogno
11 July 2014 at 05:33
Permalink this comment
Merdeka!