Izinkan gue mengawali postingan perdana di tahun 2016
ini dengan tebak-tebak buah manggis.
Dari sedikit potongan jempol berikut, dapatkah kalian
menebak kira-kira lambang apakah ini?
RCTI oke? Anda Salah!
Apa? SCTV ngetop? Tetot! Belum benar!
Gimana, nyerah?
Oke, gue kasih tahu jawabannya. Tapi… janji. Jangan kaget
ya.
Official, btw.
Iya, ini adalah logo resmi.
Jadi, tepat sebulan
kemarin, Bekasi menginjak usia barunya yang ke-19 tahun. Setelah dua tahun yang
lalu Bekasi jadi bahan cela-celaan di media sosial, bukannya melakukan
pembenahan besar-besaran terhadap citra kotanya, Bekasi nampaknya malah asyik menikmati
suramnya gerhana abadi dengan mengeluarkan logo peringatan hari jadi yang
sangat sederhana itu —bahasa halusnya dari kata jelek, kalo sang owner nggak pengin logonya disebut gitu.
Gimana nggak. Di saat teknologi canggih udah mengambil
banyak porsi dalam kehidupan umat manusia, India dan NASA lagi memulai kerja
sama program manusia pertama yang menginjakkan kaki di Planet Mars, hingga pedagang
tahu bulat yang mars-nya kini menjamur ke seluruh pelosok negeri, alih-alih
merangkul komunitas desain, konsultan brand,
atau membuat sayembara logo yang lebih semarak dan representatif, pemkot kita memilih
menggunakan salah satu clip art dari
Windows 98. Luar biasa memalukannya.
Exit Tol Legendaris Bekasi Barat, pertemuan 4 mal, 2 hotel, dan 1 apartment di satu perempatan. Kadang, waktu tempuh Pancoran-Bekasi lebih cepat ketimbang harus antre keluar di tol ini. |
Sebagian orang mungkin bakal menganggap apalah arti sebuah lambang. Tapi menurut gue, keindahan desain mahakarya logo HUT Kota Bekasi ke-19 ini harusnya jadi semacam cambuk buat kita untuk melakukan tepok jidat secara berjamaah supaya sadar kalo kota sedang mengalami masa kedaluarsa--mengutip perkataan dari Dian Sastrowardoyo: Basi!
Bekasi hari ini sudah out of date,
ketinggalan jauh buat ukuran kota di zamannya.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
Iya. Inilah yang terjadi sama Bekasi hari ini. Dua puluh tahun lebih gue tinggal di planet ini, mulai dari kemping di Bina Bangsa, nomat di MM, tes atletik di Lapangan Patal, sampe ikut pesantren kilat di Al Barkah, nggak banyak wajah kota ini yang berubah. Hal yang paling kentara adalah jumlah mal dan ruko yang makin berjubel, reklame dan baliho yang banyaknya kebangetan, serta jalanan yang semakin panas gara-gara pohon yang dikorbankan akibat pengaspalan trotroar.
Kota mana lagi coba yang trotoarnya diaspal biar bisa dipake motor kalo lagi head-to-head sama angkot ngetem?
Di saat kota lain ramai-ramai mempercantik taman dan
pedestrian, boro-boro taman. Buat jalan kaki dari pintu keluar Stasiun Kranji ke
jalan Sultan Agung aja kita kudu berebut trotoar sama pedagang kaki lima,
motor, dan sopir koasi yang ambil kiri secara tiba-tiba. Singkat cerita, Kota
Patriot yang kita tinggali saat ini belum ada kata nyaman-nyamannya. Ibarat
bumi sama langit kalo dibandingin sama Bandung, barometer kota paling bahagia
di Jawa Barat, bahkan di Indonesia.
***
Begitu gue menyebutkan nama Bandung, pasti sebagian dari kita
bakal berpikiran sebagai berikut. “Bandung
kan ibu kota! Udaranya dingin! Anggarannya banyak. Investornya juga! Nggak adil
kalo disamakan dengan Bekasi!”
Oke, tarik nafas… Sini gue jelaskan.
Secara geografis, karakteristik kedua kota ini emang jauh
berbeda. Bandung berada di kaki-kaki gunung, Bekasi di padang pasir. Dilihat
dari kebiasaan warganya, Urang Bandung nggak perlu macet-macet ria buat sekadar
pergi bekerja ke kota induknya, seperti warga Bekasi yang setiap hari mesti bedol
desa ke DKI Jakarta.
Tapi, tahukah kamu bahwa kalo dipikir-pikir, Bekasi dan Bandung nggak jauh berbeda?
Tapi, tahukah kamu bahwa kalo dipikir-pikir, Bekasi dan Bandung nggak jauh berbeda?
Pertama, Bekasi adalah kota yang besar. Penduduknya mencapai
2,5 juta, hampir setara dengan ibu kota Priangan. Kedua, Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Bekasi di tahun 2015 mencapai 1,5 Triliun, ‘hanya’ selisih 500 milyar
kalo dibandingin sama Kota Bandung di tahun yang sama. Belum lagi, Bekasi biasanya
mendapatkan hibah ‘subsidi’ dari Pemprov DKI tiap tahun.
Kebayang nggak, seberapa besar potensi dana yang sebenarnya dimiliki kota kita?
Kebayang nggak, seberapa besar potensi dana yang sebenarnya dimiliki kota kita?
Sayangnya, Kota Bekasi bakal babak belur kalo diadu sama Ibu
Kota Priangan. Di Jawa Barat, Bekasi cocok disandingkan apple-to-apple sama Kota Depok, perantauan yang gue tempati selama
empat tahun belakangan. Sama-sama pinggiran, sama-sama pemasok tenaga kerja
buat Jakarta, sama-sama menghadapi masalah investasi ruko dan apartemen yang
tumbuh membabi buta. Sialnya, kedua kota ini sama-sama mengabaikan kalo warganya
juga membutuhkan rasa nyaman buat sekadar tinggal lebih manusiawi di kotanya
sendiri. Mereka nggak sadar kalo yang menempati kota mereka adalah manusia,
bukan kendaraan bermotor yang haus akan penambahan ruas jalan aja.
Gue adalah warga yang menikmati CFD di depan kantor wali
kota, salah satu sudut dari sedikit kawasan yang bisa dibanggakan dari kota
ini. Dari 210-an kilometer persegi luas kota Bekasi, cuma ada segelintir kawasan
di kota ini yang bisa tertata, itu juga kebanyakan dibangun sama developer
kelas atas yang emang menjual utopia di setiap perumahan yang dibangun dengan
apik. Sisanya? Hutan billboard, minimarket,
permukiman padat tanpa RTH, penjual ayam sabana, jalan rusak, serta gudang-gudang
perkulakan milik pabrik.
Jembatan KH Noer Ali dan siluet Stadion Patriot Bekasi, Salah satu spot paling manusiawi di Kota Bekasi. (source: rumah123.com) |
Hutan reklame menuju Gerbang Tol Bekasi Barat (source: Google Street View) |
Keseharian Jl. Jenderal Sudirman, persisnya depan Stasiun Kranji. Jangan harap ada space di trotoar buat pejalan kaki. (source: Google Street View) |
Pertigaan Pondok Ungu, tempat rebutan jalan bagi kendaraan pribadi dan tronton setiap hari. Oh ya, cityscape ini hanya berjarak 100 m dari Perbatasan ke DKI. (source: Google Street View) |
Kondisi Jalan Kaliabang, surganya jalanan rusak di sepanjang jalan gara-gara truk yang sering kelebihan muatan. Bakal makin hectic ketika bubaran pabrik. (source: Google Street View) |
Bentuk ke-tidakmanusiawi-an lainnya adalah dalam segi transportasi.
Hingga detik ini, mobilitas warga di dalam kota cuma difasilitasi sama
kendaraan berpenumpang 4-6-geserlagi-ayo-masih-muat bernama Koasi. Kalo nggak menggunakan
kendaraan pribadi, kawasan Bekasi sebelah utara dan selatan seakan terpisah
ruang, waktu, dan jarak yang jauhnya naudzubillah. Nggak adanya sistem
transportasi yang baik membuat warga Bekasi di sebelah utara lebih cepet buat
nyampe ke Tanah Abang naik kereta ketimbang harus naik angkutan umum ke Jatiasih
atau Jatisampurna.
Nggak dilebih-lebihkan, itulah yang gue rasakan setelah
tinggal di tanah absurd bernama Bekasi. Mungkin ada beberapa aspek yang
kelihatannya sudah lebih baik terutama di bidang birokrasi dan aduan, sayangnya,
perubahan tersebut sepertinya lelet dan sangat pelan.
Gue nggak berniat mengkritik tanpa solusi. Tulisan ini
sebenarnya lahir dari kegelisahan gue pribadi, di mana gue merasakan betapa
susahnya menjalin kontak dengan pemkot melalui dunia maya.
Jadi, setahun yang lalu gue mengangkat fenomena ruang publik
di bawah jembatan layang landmark suatu kota menjadi topik skripsi. Dalam
skripsi tersebut, gue mencoba melihat lahan kosong di bawah jembatan layang KH
Noer Ali yang sekarang jadi tempat mangkalnya anak jalanan dan tunawisma itu sebetulnya
potensial buat dijadikan ruang publik yang bisa bermanfaat dan menjadi
kebanggaan warga Kota Bekasi. Semua jalur gue coba lalui buat mendapat atensi
dari pemkot mengenai permasalahan ini mulai dari pengaduan, email, media
sosial, admin twitter pak wawali, sampe fitur baru bernama Bekasi Smart City.
Sedihnya, perjuangan gue selama setahun belakangan belum membuahkan hasil
hingga saat ini.
Berikut adalah cuplikan tema yang gue angkat setahun kemarin buat kota ini.
Berikut adalah cuplikan tema yang gue angkat setahun kemarin buat kota ini.
Iya. Di tengah demam kepemimpinan kolaboratif yang mengajak
seluruh warga buat nyumbang ide dan berkontribusi buat kotanya sedang menjadi
tren yang menjangkiti berbagai wilayah di Indonesia, nampaknya fenomena ini
belum nyampe ke Kota Bekasi. Kayaknya gue masih harus bersabar sambil mencurahkan
ide dan keresahan di blog gue sendiri dengan harapan mendapat atensi dari
pemkot, at least warga kota Bekasi lainnya
biar sadar kalo kota ini masih punya segudang masalah.
***
***
Tulisan ini emang nyelekit, Tapi, tulisan ini dibuat untuk membuka
mata kita semua bahwa Bekasi hari ini masih jauh panggang dari api. Perlu
disadari, Bekasi adalah kota yang besar: banyak potensi, anggarannya seksi. Hal
itulah yang kemudian membuat banyak golongan berambisi kepengin menguasai kota
bancakan politik ini, sampai-sampai santer terdengar kalo bekas wali kota
yang juga ex napi kasus korupsi hendak come back di pemilukada dua tahun lagi.
Aku sih no, emangnya kamu sudi?
Marilah kita doakan agar kota kita cepat sadar bahwa dirinya adalah kota yang besar, tapi sudah kudet: kurang update dan perlu segera meng-upgrade diri.
Anyway, selamat ulang tahun Kota Bekasi!
Aku sih no, emangnya kamu sudi?
Marilah kita doakan agar kota kita cepat sadar bahwa dirinya adalah kota yang besar, tapi sudah kudet: kurang update dan perlu segera meng-upgrade diri.
Anyway, selamat ulang tahun Kota Bekasi!
3 komentar:
15 April 2016 at 16:22
Permalink this comment
Brava!
3 June 2016 at 23:28
Permalink this comment
Saya dukung gan, ane dari Kabupaten juga udah muak sama pemda bekasi. Developer yang membangun Kabupaten ini, buka pemda
3 June 2016 at 23:28
Permalink this comment
Saya dukung gan, ane dari Kabupaten juga udah muak sama pemda bekasi. Developer yang membangun Kabupaten ini, buka pemda