x

The Mess Runner 3: Sendiri di HCMC
Diposkan oleh rizkidwika

Ketinggalan Part1 dan Part2? Baca ceritanya di sini dulu!

21.00
Setelah ditinggal kekawan yang terbang ke Hanoi buat memuaskan hasratnya ke Halong Bay, gue menggelepar sendirian di Saigon Backpacker Hostel bersama David si bule Amerika, tentunya dalam ranjang yang berbeda. Selagi menggabut sambil rebahan, gue baru teringat kalo terakhir makan itu jam dua belas siang di Ganesh Indian Cuisine. Yha. Lapar melanda, saudara-saudara. Setelah mengumpulkan niat buat bergerak, akhirnya gue pun pergi ke Malaysian Street yang terkenal banyak makanan halalnya.


Nguyen An Ninh Street, atau yang dikenal dengan Malaysian Street adalah sebuah jalan yang berada persis di sebelah barat Ben Tanh Market, pasar oleh-oleh terbesar di Ho Chi Minh City. Dinamakan Malaysian Street soalnya di sana ada sekitar sepuluh rumah makan Melayu yang berlabel halal. Nggak cuma makanannya, para pemilik, penjual, dan pelayannya pun orang Malaysia yang udah lama tinggal di kota ini. Demi mengisi perut yang keroncongan, gue pun berjalan sendiri membelah keramaian Distrik 1 di Ho Chi Minh City. Buset! Banyak bener bule-bule blonde yang mengenakan kostum sesantai-santainya yang nongkrong di kafe pinggir jalan sembari menikmati live music di mana-mana! Jadi seger ini mata!

Setelah berjalan satu kilometer lebih—iya, segitu susahnya nyari yang jelas-jelas halal, akhirnya gue sampai juga di Malaysian Street. Bener aja, begitu gue sampe di sana gue langsung melihat jejeran kios berornamen bendera Malaysia di sepanjang jalan dengan plang tulisan Bahasa Melayu yang mudah dibaca. Nggak cuma restoran aja, di sepanjang jalan itu banyak pedagang kaki lima yang dagang starling—starbucks keliling, ftw!, penjual kaos, dan gantungan kunci Vietnam yang dijual dalam Ringgit, bahkan nawarinnya pake Bahasa Melayu kayak Ma'il temennye Upin-Ipin. 

Finally, ada juga tulisan yang nggak kriting dan suara orang yang bisa mudah dipahami… :”)



(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)


Nah, sebelum memutuskan mau makan di mana, gue terlebih dahulu menyusuri Malaysian Street dari ujung ke ujung buat milih berdasarkan bibit-bebet-bobotnya. Dari sekian banyak resto, cuma ada satu yang menyantumkan harga di luar. Oke, yaudah ini aja. Restoran Halal Amin!

Malaysian Street di waktu malam. Due sringgit-due sringgit~
Jejeran usaha imigran Malaysia. Ada Bismillah di negeri kumunis!!!1111
HALAL! MAMAH TAU SENDIRI!
Menu andalan Halal Amin. Kalo di-convert ke Rupiah, tinggal bagi dua aja.


Begitu melihat menu makanan yang ditawarkan, gue pun akhirnya memesan main course yang membuat gue penasaran semenjak hari pertama menjejakkan kaki di Vietnam. Pho!
Pho (dibaca Fuh) adalah sup kebangsaan khas Vietnam yang dimakan sama penduduk setempat di pagi hari maupun malam, semacam nasi uduk kali yha kalo di Indonesia.

Pho ini mirip soto yang berisi bihun, daun bawang, daun mint, tauge, dan irisan daging yang disiram kaldu bening dengan aroma rempah, jahe, juga serai. Biasanya sih dagingnya ayam atau sapi, tapi karena gue nggak yakin dengan campuran stock (kaldunya), gue pun nggak berani makan Pho di sembarangan tempat. Dengan segelas teh tarik yang gue pesen, gue pun menyeruput Pho pertama seumur hidup gue…

//YOUUU RAISE MEEE UUUUUPP… (HAAAA…)
SO I CAN STAND ON MOUNTAINN…//

Suara Josh Groban lagi-lagi terdengar di benak gue ketika menikmati kuah kaldu Pho yang pertama. Gokil, relieving banget aroma kaldunya. Segala capek berjalan kaki sepuluh kilo lebih dalam satu hari rasa-rasanya hilang dalam sekejap. Pantesan aje orang-orang di sini pada doyan. Setelah kekenyangan, gue pun kembali ke hostel lagi… yha, dengan berjalan kaki satu setengah kilo lagi.

Pasar Ben Tanh waktu malam
Tran Hung Dao Street, Kuta-nya Ho Chi Minh City
Wah mb, bajunya minim banget malem-malem. Kesehatanmu, lho.

YOLO @ Pham Ngu Lao Street, tempat main skateboard ala-ala Kalijodo




09.00
Gue terbangun di tengah kondisi kamar yang ac-nya kelewat dingin. Begitu membuka mata, gue terbelalak begitu melihat pemandangan di kamar hostel. Di kasur tingkat ala barak asrama yang harusnya berkapasitas satu orang itu, gue seperti melihat dua sosok orang di kasur seberang.

ANJIR, ADA BULE-BULE LAGI CUDDLING PAGI-PAGI!!!!!!!

Yha, sepasang bule, laki-laki dan perempuan sedang kelonan manja di kasur atas. Yang cewek cuma pake tanktop sambil selimutan, sementara yang cowok topless sambil mengeloni pasangannya. Dahsyat, baru pertama kali gue liat bule-bule begini di depan mata. Padahal… kondisi kamar gue hari itu fully booked, loh. Ada isinya semua.

Sebagai gambaran, dari kamar yang sebelumnya cuma berisi kami (Gamal, Audrey, Cantika) dan David bule Amerika, kamar gue hari ini diisi penuh oleh berbagai bule: David, bule Perancis, orang Vietnam yang gue nggak tahu namanya, dua orang bule Amerika lainnya yang gue lupa namanya, kemudian dua pasangan yang kelonan ini. Mereka sebetulnya memesan dua kasur, tapi yang satu lagi dipake buat menyimpan carrier dan barang bawaan. Jadilah mereka tidur bareng mengumbar kemesraan di kamar itu tanpa memperhatikan perasaan penghuni kamar lainnya -demi kesusilaan, gue nggak berani nge-candid mereka.

Sambil menikmati jatah sarapan pisang gratis yang gue ambil dari pantry, gue pun diajak ngomong sama salah satu bule Amriki.
BA (Bule Amriki)
DM (Deva Mahenra)
*sudah ditranslasi ke Bahasa Indonesia*
BA: “Bro, lo orang Vietnam?”
DM: “Bukan bosq. Imma Indonesian”
BA: “Woah, I thought you’re Vietnamese. Di luar macet banget yak”
DM: “Namanya jam kerja. Tapi ini sih nggak ada apa-apanya sama Jakarta! Udah pernah ke Indonesia?”
BA: “Belom pernah, tapi emang pengen banget ke sana. Parahan mana, macet di sini apa di Jakarta?”
DM: “Jakarta lah! Udah complicated, banyak polusi, rame banget! Eh iya, lu bulenya sebelah mana?”
BA: ”Oh aing dari Virginia, US”
((((((AING))))))
DM: “Abis ini main-mainlah ke Indonesia. There are lot of things in Indonesia, apalagi Bali. Dari makanan, kuliner, pantai, lo bisa surfing-surfing juga…”
Yha, sebagai WNI yang baik di negeri orang, gue pun menjadi duta promosi wisata. Gilak, Denny Sumargo MyTripMyAdventure kalah lah sama gue.

Setelah basa-basi dan membereskan tas, gue pun bersiap untuk tschus meninggalkan hostel dan melanjutkan perjalanan. Gue sebenernya masih belum punya tujuan mau ke mana, antara nekad naik bus ke kota lain atau cuma pindah nginep ke hostel lainnya, yang penting nekad check out dulu aja. Begitu menggendong tas segede gaban, gue langsung dicegat David dan geng-geng bule Amerika.

DV (David)
BA2 (Bule Amriki 2)
DM (Deva Mahenra)
*sudah ditranslasi ke Bahasa Indonesia*
BA2: “Whoaaa… whoa… mau ke mana lo bos? Baru juga kenal beberapa jam”
DM: “Gue pengen check out sih, udah dua hari di sini”
BA2: “Mau lanjut ke mana emang?”
DM: “Entah mau ke Da Nang atau Nha Trang”
BA2: “Nha Trang? Wah, mendingan lu ke Mui Neh deh, gue udah ke dua-duanya, tapi menurut gue mending lo pergi ke Mui Ne”
DM: “Wah, makasih sarannya, tapi nanti gue pertimbangin deh”
DV: ”Jadi, lo check-out neh?”
DM: “Iya, gimana lagi hehe. Udah ya, gue cabs!”
DV: “Okay then. Nice to see you! Apa kalo kata Bahasa Indo, ‘sampai jumpa lagi’ bro!” David melancarkan Bahasa Indonesia dengan fasih.
Gue pun meninggalkan Saigon Backpacker Hostel di Jalan Cong Quynh dengan tas yang gue nggak tahu beratnya berapa kilogram itu.

Suasana luar Saigon Backpacker Hostel
Terima kasih atas pelayanan yang ramah selama dua hari!
Koko-koko Grab ala Vietnam
Bui Vien Street. Siang lengang, malemnya surga dugem.
Deretan rumah ajojing para ekspatriat
WAHHHH MOTIF TAPLAKNYA KEK KENAL?!!?!?!?!
Astaga banyak palu aritnya!!! CYDUK!!!
Buruh-buruh kantoran menunggu lampu merah.
Itu yang mirip rumah kayanya pelaminan deh.




10.00
Berhubung ini hari Jumat, rencananya adalah gue harus mencari masjid yang terdekat di Distrik 1 buat Jumatan. Yes, gue bakal Jumatan pertama di negeri orang!

Sebelum pergi ke Masjid terdekat yang jaraknya tiga kilometer dari hostel, gue kepikiran buat brunch terlebih dahulu di tempat semalem gue makan, Restoran Halal Amin di Malaysian Street. Setelah jalan kaki dua puluh menit, gue pun sampai di sana dan memesan masakan nusantara lainnya, nasi goreng kampung seharga 50.000 Dong alias Rp25.000,00.

Nggak pake lama, pesenan gue pun tiba juga. Sepiring nasi goreng kampung, telor ceplok, sambel belacan, ikan teri asin, dan cabe-cabe rawit glondongan yang kaga diiris ditambah dengan segelas teh tarik panas. Luar biasa pedesnya… Salah mesen menu sih ini roman-romannya.

NGUYEN, NGUYEN EVERYWHERE@
Nasi goreng kampung aje diklaim Malesia :(

Kelar makan, gue kembali menenteng tas berukuran besar dan berjalan kaki menuju masjid nun jauh di sana, di bawah matahari yang lagi terik-teriknya.




10.30
Berbekal Google Maps semata, gue menyusuri jalan-jalan Ho Chi Minh City yang sebelumnya belum pernah gue jamah. Gue melewati banyak jalan baru, menyusuri jalan besar di sepanjang Sungai Saigon yang ada di sekitar kawasan bisnis paling premium di pusat HCMC, lengkap dengan bangunan pencakar langit ikonik tertinggi di sana, Bitexco Financial Tower (258 meter).

Promenade sungai Saigon. Kabarnya kalo malem tamannya rame.
Seperti merakit perahu layar~ ga deng, perahu getek
Kok banyak eceng gondoknya gini? Gubernurnya ke mana aje~~?
Bitexco Financial Tower, bangunan kece yang terkenal gara-gara helipadnya

One of hotel berbintang tinggi di seberang Sungai Saigon.
Katanya kumunis, tapi banyak merk mahal kaya Versace jualan di mari~
Wah, hiduplah Indonesia Raya~!

Begitu lagi celingak-celinguk, gue tetiba menemukan sebuah bulevar superpanjang yang letaknya ada di tengah-tengah bangunan pencakar langit dan kafe-kafe classy di HCMC.

Awalnya gue bingung itu apa. Begitu udah sampe di ujung, ternyata bulevar itu adalah poros utama kota HCMC yang berada persis di depan Gedung Balai Kota lengkap dengan patung Bapak Bangsa Ho Chi Minh, semacam Bung Karno-nya mereka itu. Asli deh, bangunan ini cakep bener…

Peninggalan arsitektur Empire Style dari masa penjajahan Perancis di kota ini emang banyak banget dan untungnya masih terawat dengan baik oleh mereka, nggak kayak kebanyakan bangunan kolonial di Indonesia. Sambil terus berjalan, dengan keringet ngucur seluruh badan, gue juga menemukan lagi bangunan Gedung Kesenian Ho Chi Minh City yang berada nggak jauh dari sana. Gilak, soal detail dan ornamentasi bangunan, Perancis emang nggak ada lawannya…

Ujung jalan bulevar. Nga tau apa ini faedahnya. 
Tampilannya gemes. Tapi di sini belom masuk Warung Upnormal.
Kaki langit Ho Chi Minh City
Paman Ho ikutan kampanye Salam Bersama
Archigasm. Romantis bener bangunannya!
Mendekat untuk melihat ukiran-ukiran Agung Sedayu Grup
Panjang bulevar dari ujung ke ujung itu satu kilo. Pas nih dipake Aksi212.
Gedung Teater/Kesenian Ho Chi Minh City
Rumah Inul di Pondok Indah nga ada apa-apanya ini mah.




11.15
Setelah mengubah nasi goreng kampung menjadi tenaga buat berjalan kaki sejauh tiga kilometer, tibalah gue di tempat tujuan, masjid satu-satunya di Ho Chi Minh City Distrik 1, Masjid Musulman!
Sekilas tentang Masjid Musulman, masjid ini punya cerita sejarah yang panjang. Masjid ini didirikan pada tahun 1930 oleh imigran dari Asia Selatan pada tahun 1930-an, kemudian akhirnya menjadi masjid pusat se-kota Saigon. Meski berbau India-indiaan, dari luar gue nggak menemukan bentuk kubah-kubah mubazir kayak tipikal bangunan Mughal atau masjid kebanyakan di Indonesia.

Gue pun menaiki tangga buat melihat sekitaran masjid dari dekat dan mata gue langsung tertuju ke tempat wudu. Di bangunan sayap Masjid Musulman ada kolam cetek tapi berukuran besar yang jernih banget airnya. Di sekelilingnya disediakan dingklik besi dan keran sebagai tempat buat berwudu. Ketimbang tempat wudu, kayanya tempat ini lebih asik buat venue-nya pool party.

Masjid yang bahkan lebih tua ketimbang Indonesia
D E T A I L & A E S T H E T I C
Bawaannya pengen ngerendem kaki terus spa ikan :(
Mengapa di Indo nga ada beginian :(


Meski udah hampir jam dua belas siang, masjid ini belom juga dipenuhi jamaah. Kata marbotnya, azan Zuhur di sini baru sekitar jam setengah satu-an. Mumpung jamaahnya masih kosong, gue kembali mengambil inisiatif buat melihat masjid ini dari dekat. Bagian dalem masjid ini lebih sederhana ketimbang tampilan luarnya, cuma ada satu mimbar kayu, kaligrafi di beberapa tempat, dan dinding mihrab yang nggak ada mewah-mewahnya kayak masjid-masjid raya di Indonesia. Meski begitu, simpelnya masjid ini justru membuat Jumatan di sini jadi makin khusyuk.

Pelataran Masjid Musulman
Pintu Masuk Utama
Masjid Raya yang nggak mubazir dan sederhana
Selpi. Biar nggak disangka ngecrop dari Gugel doang.
Photobomb lv. South Asian


Nggak lama kemudian, Masjid Musulman mulai didatangi puluhan sampai ratusan orang yang mau menunaikan salat Jumat dan setiap dari mereka keliatan membawa identitas masing-masing. Ada yang pake turban ala India, ada yang mukanya melayu banget, ada yang berhidung mancung dan mukanya Kaukasian—entah dari Iran atau negara apa, ada juga muslim berkulit hitam yang menggunakan baju gamis berwarna ngejreng ala-ala Rama Aipama. Nah, gue pun sempet colongan ngerekam isi ceramah di masjid ini yang dibawakan dalam dua Bahasa, Inggris dan Vietnam, di mana yang gue paham dari bahasa mereka cuma kaya lagi ngomong "Cangdeuleuy, cangdeuleuy, cangdeuleuy" doang. Nah, ini dia cuplikannya!




Begitu kelar Jumatan, gue nggak langsung keluar dari masjid. Gue leyeh-leyeh di selasar sembari menikmati semilir angin—padahal nggak punya duit buat nyari makanan halal—padahal gue baru tau kalo masjid ini punya kantin murah begitu balik ke Indonesia. Yha, penyesalan emang selalu belakangan.

Jadi, dinding masjidnya itu dari rolling door gitu. Leh uga kan yha.
Teras samping Masjid Raya
Nongki-nongki abis Jumatan
Bukti sudah Jumatan di negeri orang. Sah? SAH!
Bengong aja ni, om?

Karena udah mulai sepi, gue pun meninggalkan masjid untuk berkeliling  HCMC lagi. Nggak ada teman, nggak ada tujuan, cuma menyusuri jalanan HCMC dan taman-taman di sekitarnya. Intinya, gue cuma pengin ngabisin waktu sambil nyusun rencana gue harus ngapain dua hari ke depan. Pilihannya ada tiga.

Pertama, gue harus pergi ke stasiun dan ngecek tiket one way buat pergi ke Da Nang, kota yang berjarak sekitar….. kilometer dari Ho Chi Minh City. Kalo naik kereta dengan tiket seharga 350.000 Dong, bakal ngabisin waktu sekitar delapan belas jam. Delapan-belas-jam, saudara-saudara! Delapan-belas-jam!

Kedua, stay di Ho Chi Minh City, check in hostel lain nunggu Ochan dan Gege pulang liburan..

Ketiga, gue bisa ke Pham Ngu Lao Street dan mendatangi biro wisata yang menawarkan berbagai paket perjalanan ke luar kota.

Karena gue simpatisan Oke Oce, akhirnya gue memutuskan untuk mengambil opsi ketiga dan pergi ke Pham Ngu Lao Street buat mencari paket wisata yang tepat bagi backpacker berbujet minim seperti gue ini. Begitu ditotal-total, perjalanan kaki gue mencapai jarak tujuh kilometer buat keliling-keliling gaje di hari kedua, menurun ketimbang hari pertama. Duh Gusti…


Nah… kira-kira, ke manakah gue akan bepergian selanjutnya?
Akankah gue selamat di Negeri Nguyen ini?
Akankah gue menemukan makanan halal?
Tunggu kelanjutan cerita di episode selanjutnya!!!
.
.
.
.
.
kalo berminat


Photo

22/04/2017

di 17:28


Label:

1 komentar:

29 June 2017 at 06:48
Permalink this comment

said...

Haha jangan lupa di lanjutin ya ceritanya meskipun receh tapi kusuka 😂 anak arsi jd gemes kalo bahas tentang arsitektur ya wkwk.

@rizkidwika

fatwa halal

fatwa halal

Universitas Indonesia


jama'ah