21.00
Setelah ditinggal kekawan yang terbang ke Hanoi buat memuaskan hasratnya ke
Halong Bay, gue menggelepar sendirian di Saigon Backpacker Hostel bersama David
si bule Amerika, tentunya dalam ranjang yang berbeda. Selagi menggabut sambil
rebahan, gue baru teringat kalo terakhir makan itu jam dua belas siang di
Ganesh Indian Cuisine. Yha. Lapar
melanda, saudara-saudara. Setelah mengumpulkan niat buat bergerak, akhirnya gue
pun pergi ke Malaysian Street yang
terkenal banyak makanan halalnya.
Nguyen An Ninh Street,
atau yang dikenal dengan Malaysian Street
adalah sebuah jalan yang berada persis di sebelah barat Ben Tanh Market, pasar oleh-oleh terbesar di Ho
Chi Minh City. Dinamakan Malaysian Street
soalnya di sana ada sekitar sepuluh rumah makan Melayu yang berlabel halal. Nggak
cuma makanannya, para pemilik, penjual, dan pelayannya pun orang Malaysia yang
udah lama tinggal di kota ini. Demi mengisi perut yang keroncongan, gue pun berjalan
sendiri membelah keramaian Distrik 1 di Ho Chi Minh City. Buset! Banyak bener bule-bule blonde yang mengenakan kostum
sesantai-santainya yang nongkrong di kafe pinggir jalan sembari menikmati live music di mana-mana! Jadi seger ini
mata!
Setelah berjalan satu kilometer lebih—iya, segitu susahnya
nyari yang jelas-jelas halal, akhirnya gue sampai juga di Malaysian Street. Bener aja, begitu gue sampe di sana gue langsung melihat
jejeran kios berornamen bendera Malaysia di sepanjang jalan dengan plang
tulisan Bahasa Melayu yang mudah dibaca. Nggak cuma restoran aja, di sepanjang
jalan itu banyak pedagang kaki lima yang dagang starling—starbucks
keliling, ftw!, penjual kaos, dan gantungan kunci Vietnam yang dijual dalam Ringgit,
bahkan nawarinnya pake Bahasa Melayu kayak Ma'il temennye Upin-Ipin.
Finally, ada juga tulisan yang nggak kriting
dan suara orang yang bisa mudah dipahami… :”)
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
Nah, sebelum memutuskan mau makan di mana, gue terlebih
dahulu menyusuri Malaysian Street
dari ujung ke ujung buat milih berdasarkan bibit-bebet-bobotnya. Dari
sekian banyak resto, cuma ada satu yang menyantumkan harga di luar. Oke, yaudah ini aja. Restoran Halal Amin!
Malaysian Street di waktu malam. Due sringgit-due sringgit~ |
Jejeran usaha imigran Malaysia. Ada Bismillah di negeri kumunis!!!1111 |
HALAL! MAMAH TAU SENDIRI! |
Menu andalan Halal Amin. Kalo di-convert ke Rupiah, tinggal bagi dua aja. |
Begitu melihat menu makanan yang ditawarkan, gue pun akhirnya
memesan main course yang membuat gue
penasaran semenjak hari pertama menjejakkan kaki di Vietnam. Pho!
Pho (dibaca Fuh) adalah sup kebangsaan khas Vietnam yang
dimakan sama penduduk setempat di pagi hari maupun malam, semacam nasi uduk
kali yha kalo di Indonesia.
Pho ini mirip soto yang berisi bihun, daun bawang,
daun mint, tauge, dan irisan daging
yang disiram kaldu bening dengan aroma rempah, jahe, juga serai. Biasanya sih dagingnya
ayam atau sapi, tapi karena gue nggak yakin dengan campuran stock (kaldunya), gue pun nggak berani
makan Pho di sembarangan tempat. Dengan segelas teh tarik yang gue pesen, gue
pun menyeruput Pho pertama seumur hidup gue…
Suara Josh Groban lagi-lagi terdengar di benak gue ketika menikmati
kuah kaldu Pho yang pertama. Gokil, relieving
banget aroma kaldunya. Segala capek berjalan kaki sepuluh kilo lebih dalam satu
hari rasa-rasanya hilang dalam sekejap. Pantesan aje orang-orang di sini pada doyan.
Setelah kekenyangan, gue pun kembali ke hostel lagi… yha, dengan berjalan kaki
satu setengah kilo lagi.
Pasar Ben Tanh waktu malam |
Tran Hung Dao Street, Kuta-nya Ho Chi Minh City |
Wah mb, bajunya minim banget malem-malem. Kesehatanmu, lho. |
YOLO @ Pham Ngu Lao Street, tempat main skateboard ala-ala Kalijodo |
09.00
Gue terbangun di tengah kondisi kamar yang ac-nya kelewat dingin. Begitu membuka mata, gue terbelalak begitu melihat pemandangan di kamar hostel. Di kasur tingkat ala barak asrama yang harusnya berkapasitas satu orang itu, gue seperti melihat dua sosok orang di kasur seberang.
Gue terbangun di tengah kondisi kamar yang ac-nya kelewat dingin. Begitu membuka mata, gue terbelalak begitu melihat pemandangan di kamar hostel. Di kasur tingkat ala barak asrama yang harusnya berkapasitas satu orang itu, gue seperti melihat dua sosok orang di kasur seberang.
ANJIR, ADA BULE-BULE LAGI CUDDLING PAGI-PAGI!!!!!!!
Yha, sepasang bule, laki-laki dan perempuan sedang kelonan
manja di kasur atas. Yang cewek cuma pake tanktop
sambil selimutan, sementara yang cowok topless sambil mengeloni pasangannya. Dahsyat,
baru pertama kali gue liat bule-bule begini di depan mata. Padahal… kondisi
kamar gue hari itu fully booked, loh.
Ada isinya semua.
Sebagai gambaran, dari kamar yang sebelumnya cuma berisi kami
(Gamal, Audrey, Cantika) dan David bule Amerika, kamar gue hari ini diisi penuh
oleh berbagai bule: David, bule Perancis, orang Vietnam yang gue nggak tahu
namanya, dua orang bule Amerika lainnya yang gue lupa namanya, kemudian dua
pasangan yang kelonan ini. Mereka sebetulnya memesan dua kasur, tapi yang satu
lagi dipake buat menyimpan carrier
dan barang bawaan. Jadilah mereka tidur bareng mengumbar kemesraan di kamar
itu tanpa memperhatikan perasaan penghuni kamar lainnya -demi kesusilaan, gue nggak berani nge-candid mereka.
Sambil menikmati jatah sarapan pisang gratis yang gue ambil
dari pantry, gue pun diajak ngomong
sama salah satu bule Amriki.
BA (Bule Amriki)
DM (Deva Mahenra)
*sudah ditranslasi ke Bahasa Indonesia*
BA: “Bro, lo orang Vietnam?”
DM: “Bukan bosq. Imma Indonesian”
BA: “Woah, I thought you’re Vietnamese.
Di luar macet banget yak”
DM: “Namanya jam kerja. Tapi ini sih nggak ada apa-apanya sama Jakarta! Udah
pernah ke Indonesia?”
BA: “Belom pernah, tapi emang pengen banget ke sana. Parahan mana, macet di
sini apa di Jakarta?”
DM: “Jakarta lah! Udah complicated,
banyak polusi, rame banget! Eh iya, lu bulenya sebelah mana?”
BA: ”Oh aing dari Virginia, US”
((((((AING))))))
DM: “Abis ini main-mainlah ke Indonesia. There
are lot of things in Indonesia, apalagi Bali. Dari makanan, kuliner,
pantai, lo bisa surfing-surfing juga…”
Yha, sebagai WNI yang baik di negeri orang, gue pun menjadi duta promosi wisata.
Gilak, Denny Sumargo MyTripMyAdventure kalah lah sama gue.
DV (David)
BA2 (Bule Amriki 2)
DM (Deva Mahenra)
*sudah ditranslasi ke Bahasa Indonesia*
BA2: “Whoaaa… whoa… mau ke mana lo bos? Baru juga kenal beberapa jam”
DM: “Gue pengen check out sih, udah
dua hari di sini”
BA2: “Mau lanjut ke mana emang?”
DM: “Entah mau ke Da Nang atau Nha Trang”
BA2: “Nha Trang? Wah, mendingan lu ke Mui Neh deh, gue udah ke dua-duanya, tapi
menurut gue mending lo pergi ke Mui Ne”
DM: “Wah, makasih sarannya, tapi nanti gue pertimbangin deh”
DV: ”Jadi, lo check-out neh?”
DM: “Iya, gimana lagi hehe. Udah ya, gue cabs!”
DV: “Okay then. Nice to see you! Apa
kalo kata Bahasa Indo, ‘sampai jumpa lagi’ bro!” David melancarkan Bahasa
Indonesia dengan fasih.
Gue pun meninggalkan Saigon Backpacker Hostel di Jalan
Cong Quynh dengan tas yang gue nggak tahu beratnya berapa kilogram itu.
Suasana luar Saigon Backpacker Hostel |
Terima kasih atas pelayanan yang ramah selama dua hari! |
Koko-koko Grab ala Vietnam |
Bui Vien Street. Siang lengang, malemnya surga dugem. |
Deretan rumah ajojing para ekspatriat |
WAHHHH MOTIF TAPLAKNYA KEK KENAL?!!?!?!?! |
Astaga banyak palu aritnya!!! CYDUK!!! |
Buruh-buruh kantoran menunggu lampu merah. Itu yang mirip rumah kayanya pelaminan deh. |
10.00
Berhubung ini hari Jumat, rencananya adalah gue harus
mencari masjid yang terdekat di Distrik 1 buat Jumatan. Yes, gue bakal Jumatan
pertama di negeri orang!
Sebelum pergi ke Masjid terdekat yang jaraknya tiga
kilometer dari hostel, gue kepikiran buat brunch
terlebih dahulu di tempat semalem gue makan, Restoran Halal Amin di Malaysian Street. Setelah jalan kaki dua puluh
menit, gue pun sampai di sana dan memesan masakan nusantara lainnya, nasi goreng
kampung seharga 50.000 Dong alias Rp25.000,00.
Nggak pake lama, pesenan gue pun tiba juga. Sepiring nasi
goreng kampung, telor ceplok, sambel belacan, ikan teri asin, dan cabe-cabe
rawit glondongan yang kaga diiris ditambah dengan segelas teh tarik panas. Luar
biasa pedesnya… Salah mesen menu sih ini roman-romannya.
NGUYEN, NGUYEN EVERYWHERE@ |
Nasi goreng kampung aje diklaim Malesia :( |
Kelar makan, gue kembali menenteng tas berukuran besar dan berjalan kaki menuju masjid nun jauh di sana, di bawah matahari yang lagi terik-teriknya.
10.30
Berbekal Google Maps semata, gue menyusuri jalan-jalan Ho
Chi Minh City yang sebelumnya belum pernah gue jamah. Gue melewati banyak jalan
baru, menyusuri jalan besar di sepanjang Sungai Saigon yang ada di sekitar kawasan bisnis paling premium di pusat HCMC, lengkap dengan bangunan pencakar langit ikonik tertinggi di sana, Bitexco Financial Tower (258 meter).
Begitu lagi celingak-celinguk, gue tetiba menemukan sebuah bulevar superpanjang yang letaknya ada di tengah-tengah bangunan pencakar langit dan kafe-kafe classy di HCMC.
Promenade sungai Saigon. Kabarnya kalo malem tamannya rame. |
Seperti merakit perahu layar~ ga deng, perahu getek |
Kok banyak eceng gondoknya gini? Gubernurnya ke mana aje~~? |
Bitexco Financial Tower, bangunan kece yang terkenal gara-gara helipadnya |
One of hotel berbintang tinggi di seberang Sungai Saigon. |
Katanya kumunis, tapi banyak merk mahal kaya Versace jualan di mari~ |
Wah, hiduplah Indonesia Raya~! |
Begitu lagi celingak-celinguk, gue tetiba menemukan sebuah bulevar superpanjang yang letaknya ada di tengah-tengah bangunan pencakar langit dan kafe-kafe classy di HCMC.
Awalnya gue bingung itu apa. Begitu udah sampe di ujung, ternyata
bulevar itu adalah poros utama kota HCMC yang berada persis di depan Gedung Balai Kota lengkap dengan patung Bapak Bangsa Ho Chi Minh, semacam Bung Karno-nya mereka itu. Asli deh,
bangunan ini cakep bener…
Peninggalan arsitektur Empire
Style dari masa penjajahan Perancis di kota ini emang banyak banget dan untungnya
masih terawat dengan baik oleh mereka, nggak kayak kebanyakan bangunan kolonial
di Indonesia. Sambil terus berjalan, dengan
keringet ngucur seluruh badan, gue juga menemukan lagi bangunan Gedung Kesenian
Ho Chi Minh City yang berada nggak jauh dari sana. Gilak, soal detail dan ornamentasi
bangunan, Perancis emang nggak ada lawannya…
Ujung jalan bulevar. Nga tau apa ini faedahnya. |
Tampilannya gemes. Tapi di sini belom masuk Warung Upnormal. |
Kaki langit Ho Chi Minh City |
Paman Ho ikutan kampanye Salam Bersama |
Archigasm. Romantis bener bangunannya! |
Mendekat untuk melihat ukiran-ukiran Agung Sedayu Grup |
Panjang bulevar dari ujung ke ujung itu satu kilo. Pas nih dipake Aksi212. |
Gedung Teater/Kesenian Ho Chi Minh City |
Rumah Inul di Pondok Indah nga ada apa-apanya ini mah. |
11.15
Setelah mengubah nasi goreng kampung menjadi tenaga buat
berjalan kaki sejauh tiga kilometer, tibalah gue di tempat tujuan, masjid
satu-satunya di Ho Chi Minh City Distrik 1, Masjid Musulman!
Sekilas tentang Masjid Musulman, masjid ini punya cerita
sejarah yang panjang. Masjid ini didirikan pada tahun 1930 oleh imigran dari
Asia Selatan pada tahun 1930-an, kemudian akhirnya menjadi masjid pusat se-kota Saigon. Meski berbau India-indiaan, dari
luar gue nggak menemukan bentuk kubah-kubah mubazir
kayak tipikal bangunan Mughal atau masjid kebanyakan di Indonesia.
Gue pun menaiki tangga buat melihat sekitaran masjid dari
dekat dan mata gue langsung tertuju ke tempat wudu. Di bangunan sayap Masjid
Musulman ada kolam cetek tapi berukuran besar yang jernih banget airnya. Di
sekelilingnya disediakan dingklik besi dan keran sebagai tempat buat berwudu. Ketimbang
tempat wudu, kayanya tempat ini lebih asik buat venue-nya pool party.
Masjid yang bahkan lebih tua ketimbang Indonesia |
D E T A I L & A E S T H E T I C |
Bawaannya pengen ngerendem kaki terus spa ikan :( |
Mengapa di Indo nga ada beginian :( |
Meski udah hampir jam dua belas siang, masjid ini belom juga
dipenuhi jamaah. Kata marbotnya, azan Zuhur di sini baru sekitar jam setengah
satu-an. Mumpung jamaahnya masih kosong, gue kembali mengambil inisiatif buat
melihat masjid ini dari dekat. Bagian dalem masjid ini lebih sederhana ketimbang
tampilan luarnya, cuma ada satu mimbar kayu, kaligrafi di beberapa tempat,
dan dinding mihrab yang nggak ada mewah-mewahnya kayak masjid-masjid raya di
Indonesia. Meski begitu, simpelnya masjid ini justru membuat Jumatan di sini jadi makin khusyuk.
Nggak lama kemudian, Masjid Musulman mulai didatangi puluhan sampai ratusan orang yang mau menunaikan salat Jumat dan setiap dari mereka keliatan membawa identitas masing-masing. Ada yang pake turban ala India, ada yang mukanya melayu banget, ada yang berhidung mancung dan mukanya Kaukasian—entah dari Iran atau negara apa, ada juga muslim berkulit hitam yang menggunakan baju gamis berwarna ngejreng ala-ala Rama Aipama. Nah, gue pun sempet colongan ngerekam isi ceramah di masjid ini yang dibawakan dalam dua Bahasa, Inggris dan Vietnam, di mana yang gue paham dari bahasa mereka cuma kaya lagi ngomong "Cangdeuleuy, cangdeuleuy, cangdeuleuy" doang. Nah, ini dia cuplikannya!
Pelataran Masjid Musulman |
Pintu Masuk Utama |
Masjid Raya yang nggak mubazir dan sederhana |
Selpi. Biar nggak disangka ngecrop dari Gugel doang. |
Photobomb lv. South Asian |
Nggak lama kemudian, Masjid Musulman mulai didatangi puluhan sampai ratusan orang yang mau menunaikan salat Jumat dan setiap dari mereka keliatan membawa identitas masing-masing. Ada yang pake turban ala India, ada yang mukanya melayu banget, ada yang berhidung mancung dan mukanya Kaukasian—entah dari Iran atau negara apa, ada juga muslim berkulit hitam yang menggunakan baju gamis berwarna ngejreng ala-ala Rama Aipama. Nah, gue pun sempet colongan ngerekam isi ceramah di masjid ini yang dibawakan dalam dua Bahasa, Inggris dan Vietnam, di mana yang gue paham dari bahasa mereka cuma kaya lagi ngomong "Cangdeuleuy, cangdeuleuy, cangdeuleuy" doang. Nah, ini dia cuplikannya!
Begitu kelar Jumatan, gue nggak langsung keluar dari masjid.
Gue leyeh-leyeh di selasar sembari menikmati semilir angin—padahal nggak punya
duit buat nyari makanan halal—padahal gue baru tau kalo masjid ini punya kantin
murah begitu balik ke Indonesia. Yha, penyesalan emang selalu belakangan.
Jadi, dinding masjidnya itu dari rolling door gitu. Leh uga kan yha. |
Teras samping Masjid Raya |
Nongki-nongki abis Jumatan |
Bukti sudah Jumatan di negeri orang. Sah? SAH! |
Bengong aja ni, om? |
Karena udah mulai sepi, gue pun meninggalkan masjid untuk
berkeliling HCMC lagi. Nggak ada teman,
nggak ada tujuan, cuma menyusuri jalanan HCMC dan taman-taman di sekitarnya.
Intinya, gue cuma pengin ngabisin waktu sambil nyusun rencana gue harus ngapain
dua hari ke depan. Pilihannya ada tiga.
Pertama, gue harus pergi ke stasiun dan ngecek tiket one way buat pergi ke Da Nang, kota yang
berjarak sekitar….. kilometer dari Ho Chi Minh City. Kalo naik kereta dengan
tiket seharga 350.000 Dong, bakal ngabisin waktu sekitar delapan belas jam. Delapan-belas-jam,
saudara-saudara! Delapan-belas-jam!
Kedua, stay di Ho Chi Minh City, check in hostel lain nunggu Ochan dan Gege pulang liburan..
Ketiga, gue bisa ke Pham Ngu Lao Street dan mendatangi biro wisata yang menawarkan berbagai paket
perjalanan ke luar kota.
Karena gue simpatisan Oke Oce, akhirnya gue memutuskan untuk
mengambil opsi ketiga dan pergi ke Pham Ngu Lao Street buat mencari paket
wisata yang tepat bagi backpacker berbujet minim seperti gue ini. Begitu ditotal-total,
perjalanan kaki gue mencapai jarak tujuh kilometer buat keliling-keliling gaje
di hari kedua, menurun ketimbang hari pertama. Duh Gusti…
Nah… kira-kira, ke manakah gue akan bepergian
selanjutnya?
Akankah gue selamat di Negeri Nguyen ini?
Akankah gue menemukan makanan halal?
Tunggu kelanjutan cerita di episode selanjutnya!!!
.
.
.
.
.
kalo berminat
.
.
.
.
.
kalo berminat
1 komentar:
29 June 2017 at 06:48
Permalink this comment
Haha jangan lupa di lanjutin ya ceritanya meskipun receh tapi kusuka 😂 anak arsi jd gemes kalo bahas tentang arsitektur ya wkwk.