Boleh
dibilang, saya tumbuh dan besar bersama kereta api. Sejak kelahiran saya pada
tahun 1994 silam, setiap tahun setidaknya saya sekeluarga melakukan enam kali
perjalanan relasi Jakarta-Semarang dengan kereta, baik itu pada saat lebaran maupun
sekadar liburan biasa. Jenis kelas yang kami naiki pun bermacam-macam. Kadang
Argo Muria, Kamandanu, kadang Fajar atau Senja Utama, bahkan berjejalan naik
Tawang Jaya, tergantung kelihaian dan keberuntungan Ayah saya waktu mengantre
di stasiun sehari semalaman.
Ya, begitulah
memori yang saya ingat terkait kereta api di masa lalu, tepatnya di awal tahun
2000. Pagi-pagi sekali, biasanya setelah sahur, Ayah beserta kakak pertama saya
harus berangkat ke Stasiun Pasar Senen untuk mengantre tiket mudik lebaran. Di
sana, kondisinya amat tidak mengenakkan. Banyak orang duduk lesehan dan
menginap di stasiun dengan seabrek barang, informasi antrean yang seringkali
tidak jelas, ditambah lagi banyaknya calo yang menawarkan harga berkali lipat
dari aslinya. Akhirnya, tiket tanpa tempat duduk pun jadi pilihan terakhir kami
untuk pulang ke Semarang—namun pada hari keberangkatan, kami mengakali dengan
datang satu jam sebelum keberangkatan dan menempati kursi di gerbong makan.
Meski kondisi
kereta di masa lalu masih seperti itu, kereta tetap menjadi andalan keluarga
saya untuk sekadar balik kampung, jauh sejak sebelum saya lahir. Tiketnya yang
murah untuk sekeluarga dan bebas dari macet berhari-hari menjadi alasan mengapa
keluarga saya memilih kereta ketimbang bus, pesawat, apalagi pulang kampung
dengan kendaraan sendiri. Bersama kereta, belasan tahun berliburan di Semarang
pun selalu memberikan saya pengalaman yang berbeda-beda.
|
Saya, Adik, dan Sepupu (circa 2002) |
|
Berkereta Senja Utama (2002) |
|
Berkereta Senja Utama (2002) |
|
Adik-Kakak (2002) |
Saya masih ingat betul bagaimana menyenangkannya naik kereta
setiap pulang ke Semarang: membeli nasi bungkus murah di Stasiun Cirebon atau
Tegal, menanti pramugara menawarkan nasi goreng dan nasi rames fajar utama yang
enaknya melegenda, hingga betapa antusiasnya saya duduk di jendela sewaktu
melintasi Laut Jawa. Bukan cuma yang manis-manis saja, berkendara dengan kereta
di masa lalu juga memberikan pengalaman tak menyenangkan. Perjalanannya yang
tak sesuai jadwal, gerbong yang kipas anginnya rusak, toilet yang kerap tak ada
airnya, berjubelnya penumpang tanpa tempat duduk hingga harus tidur lesehan di
setiap gang kereta, dan bangku yang tak begitu nyaman pun rasa-rasanya membuat jarak
perjalanan Jakarta-Semarang menjadi dua kali lipatnya. Namun, pengalaman mudik
yang berbeda dengan kereta api saya rasakan di tahun 2017 ini.
Awalnya, keluarga saya tak berniat untuk pulang mudik di tahun
ini karena tidak tersediaannya tiket pulang maupun pergi. Tiba-tiba, PT KAI
lewat instagramnya mengumumkan adanya kereta kelas baru yang melayani rute
menuju beberapa kota di Pulau Jawa. Dengan niat iseng, tepat jam dua belas
malam pun saya mencoba peruntungan saya dengan memesannya via internet, melawan
puluhan ribu orang yang juga hendak berburu tiket mudik dan arus balik. Dengan
kecepatan koneksi, sepuluh menit kemudian pun saya berhasil mendapatkan kode
booking dan langsung kemudian menebusnya dengan membayar via ATM. Tak sampai
setengah jam, tiket mudik dan arus balik pun sudah di tangan, tanpa perlu
mengantre belasan jam di loket Stasiun Gambir maupun Pasar Senen seperti yang
kami lakukan di masa lalu.
Saat hari keberangkatan, keluarga kami pun dibuat takjub dengan kualitas
kereta yang ditawarkan PT Kereta Api. Tawang Jaya yang kami pesan bukan
sembarang Tawang Jaya. Alih-alih mendapatkan kereta dengan tempat duduk yang
tidak ergonomis, di Tawang Jaya Kelas Premium kami justru merasakan kualitas sekelas
rangkaian eksekutif. Gerbong yang dingin, konfigurasi tempat duduk 2-2 yang
luas, bangku yang nyaman dan bisa diatur kemiringan sandarannya, hingga toilet
yang bersih pun membuat perjalanan Jakarta-Semarang menjadi nyaman dan terasa
menyenangkan. Tujuh jam perjalanan pun kami lalui tanpa hambatan. Kami
benar-benar tinggal duduk nyaman tanpa perlu berjibaku terjebak kemacetan di
ruas tol Cikampek-Palimanan.
|
Suasana Mudik di Pasar Senen (2017) |
|
Suasana Mudik di Pasar Senen (2017) |
|
Kereta Premium yang Kami Tumpangi |
|
Nyaman Tanpa Orang Lesehan |
|
Bangku ternyaman Nomor 11-12 |
|
Meski Tawang Jaya, Rasanya Kaya Argo Muria |
|
Melihat Laut |
|
Tiga Jam Sebelum Semarang |
|
Laut Jawa dari Balik Jendela |
|
Tiba di Semarang Pesona Asia |
|
Menoreh di Stasiun Tawang, Kereta Kami untuk Pulang (2017) |
|
Si Pramugari Kereta |
|
Leaving Semarang Tawang |
***
Dalam lima tahun belakangan ini, memang terasa betul bagaimana
Kereta Api bisa meningkatkan kualitas pelayanannya secara pesat, baik itu
pelayanan kereta jarak jauh maupun kereta commuter Jabodetabek-nya. Masih kuat
betul di ingatan saya di mana sejak menjadi mahasiswa UI di tahun 2011 dan
resmi menjadi anker—anak kereta Bekasi-Depok, saya harus merasakan betapa "ikan
pepes"-nya menggunakan KRL ekonomi—bahkan dalam dua tahun pertama saya sampai
kecopetan dua kali. Beberapa tahun berselang, kini pelayanan yang semula ala
kadarnya pun disulap menjadi lebih maju: peron dan fasilitas yang lengkap,
sistem tiket berbasis tap, gerbong yang tak lagi dipenuhi oleh atapers-atapers
yang biasanya akrobat di atap KRL layaknya spiderman, gebrakan demi gebrakan pun
selalu dilakukan PT Kereta Api—dan anaknya, KCJ demi pengalaman mobilitas
masyarakat yang jauh lebih baik.
Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan PT KAI dan segenap anak perusahaannya di 72 tahun perjalanannya. Baik
penyedia maupun pengguna layanan kereta api tahu betul apa masalah dan tantangan
yang dihadapi perkeretaapian di Indonesia pada saat ini. Seringnya gangguan
sinyal listrik akibat cuaca, antrean sinyal masuk Stasiun Manggarai yang
menghabiskan waktu perjalanan, antrean kereta api jarak jauh di Jatinegara dan
Stasiun Cakung yang disebabkan double-double
track yang tak kunjung rampung, kereta bandara, semua permasalahan ini harus segera diurai
bersama-sama demi kualitas pelayanan yang lebih prima.
Di masa depan, saya membayangkan PT Kereta Api bisa melakukan
lompatan besar lagi seperti yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini. Saya
membayangkan mereka mampu memberikan performa pelayanan yang tak hanya bagus
dan nyaman dari segi fasilitas saja, tetapi juga bisa memberikan kepastian pada
penggunanya dengan lebih tepat waktu dan bisa semakin presisi dengan perkiraan durasi
tempuh yang sesungguhnya.
Bukan cuma itu saja. di 72 tahun keberadaannya, sudah
sewajarnya layanan kereta api harus bisa dirasakan secepatnya oleh seluruh
rakyat Indonesia dan tak hanya berkonsentrasi di Pulau Jawa. Sudah saatnya
kota-kota besar di luar Jawa bisa saling terhubung dengan jaringan rel kereta,
sehingga masyarakatnya bisa sama-sama merasakan mobilitas cepat yang terjangkau
dan bebas hambatan. Kesiapan infrastruktur rel dan layanan kereta yang saat ini
sedang dikerjakan di beberapa titik di luar Jawa pun harus dikebut dan dikejar
pembangunannya supaya dapat mempercepat perpindahan barang dan manusia yang
selama ini hanya mengandalkan jalan darat. Dengan demikian, cita-cita mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun bakal tercapai juga lewat
terbangunnya jaringan interkoneksi kereta api yang terpadu dan berkualitas di seluruh
wilayah di negeri kita dengan pelayanan yang memuaskan setiap penggunanya.
Selamat ulang
tahun transportasi andalanku, PT KAI!
0 komentar: