x


Saudara, ini adalah kelanjutan dari episode sebelumnya, Architectour: Melipir di Onrust dan Pulau Cipir (1)
“NGGGHHH” Abang-abang panggilan itu memanfaatkan kesempatannya yang pertama.
“BLEBEGBLEBEG” Gagal, saudara-saudara.
“NGGGGGGGGGGHH”
“BLEBEGBLEBEGBLEBEG” Mesin itu berdehem lagi. Nyinyir.
“HHHHHHHHHHHHHHHHHHH” Abang tadi berusaha semakin keras.
“TSAAAAAK” Apa yang terjadi saudara-saudara!!!
Ternyata, tali tuas motor buat starter mesin diesel itu putus.

"Kang, sepertinya...kita sudah tidak ada kecocokan lagi"

Abang-abang pemilik perahu justru malah ketawa terbahak-bahak. Bang, Abang nggak sedang bechanda kan, Bang? Aku nggak lagi dikerjain sama Supertrap, kan? Nasib rombongan ada di tangan orang-orang kayak mereka? Ini seriusan...?

Akhirnya, kedua pemilik perahu pun sepakat membuat kebijakan buat para awak penumpangnya. Berbekal tali tambang berdiameter besar, perahu gue yang putus talinya tadi langsung diderek dengan perahu motor lainnya.

Sepanjang jalan kenangan... Kita slalu bergandeng tangan~

Tuh. Perahu aja bisa gandengan. Masa kamu nggak?
Hih. Punchline basi. Madingnya udah mau terbit!


Anyway, perjalanan menuju Pulau Cipir tidak semudah kelihatannya. Biar waktu tempuh dari Onrust ke sana cuma lima menit, tapi, pengarungan yang kami lalui jauh lebih menantang. Perahu doyong terus-terusan, bergerak oleng ke kiri-kanan. Sesekali, perahu kami juga bergoyang naik-turun setinggi satu meter persis wahana gajah-gajahan yang ada di Dufan. Iya, selain karena faktor abis hujan badai, makin sore, gelombang laut pun makin tinggi. Menurut abangnya, sekarang masih masuk siklus angin baratan alias muson barat yang biasanya selesai di bulan Februari. Jadi, sebenernya waktu yang pas untuk mendatangi tempat ini maupun pesisir lautan lainnya adalah di bulan Maret-April hingga Juni.

Mulai merapat
INI NAIK KE DERMAGANYE GIMANE? MANJAT?!

Well, setelah mendarat di dermaga pulau dengan susah payah, kami serombongan mengadakan prosesi foto bersama di depan gerbang masuknya. 

Mas, mas-mas yang sebelah kiri croppable, deh.
Tugu yang bentuknya ambigu.
Meriam penyambutan, tanpa Belina.

Kalo Onrust dulunya adalah asrama penginapan bagi para calon haji, Pulau Cipir atau Khayangan dulunya difungsikan sebagai rumah sakit buat para jamaah sebelum berangkat naik kapal berbulan-bulan menuju Mekkah. Nggak heran kalau puing-puing di pulau ini lebih berlumut, spooky, dan ukurannya jauh lebih besar.
Pesisir Pantai Cipir
Pantai lagi, arah sebaliknya
Ijo-ijo di belakang pohon ini Pulau Onrust, loh.

Jadi, di sinilah lokasi uji nyali kita.

Rumah sakit yang jam praktiknya ba'da Isya. Tuh, 1911-1933.
Pesisir pantai di sisi pulau lainnya.
Bekas benteng Belanda
Reruntuhan. Saksi bisu terjangan gelombang tidal Krakatau 1883.

Dengan niatan menambah saldo dan pundi-pundi tabungan avatar, gue kembali memutuskan buat mengelilingi seisi pulau ini sambil melakukan prosesi selfie sambil bikin video klip lagi. Sendiri.
Najis ah, Dwik.


"Jangan sembunyi...."
"Kumohon padamu...jangan sembunyi..."
"Sembunyi dari apa... yang terjadi...."
"Tak seharusnya hatimu kaukunci...."
"LOOOOOMPOOOOHKANLAH....INGATANKOOOO"


Dibanding Onrust, luas Pulau Cipir emang lebih kecil, jadi waktu yang dibutuhkan buat mengeksplorasi pulau ini lebih sedikit. Sembari menunggu rombongan yang lain, gue, Mbak Virlly, dan para mbak-mbak ciwik mengobrol asyik di sebuah gazebo yang letaknya ada di depan pantai.

Pembicaraan dibuka dengan brownies yang dibuat mbak Melan dari rumah.
Usut punya usut, ternyata mereka udah sering melakukan trip setiap weekend dan tanggal-tanggal cuti bersama. Namanya juga karyawan. Daripada ngabisin Sabtu-Minggu di Jakarta, mending luangin waktu dan uang buat melancong ke mana-mana. Keren juga sih...
Kabarnya, mereka sendiri udah menjamah berbagai pelosok lautan di Indonesia. Kiluan, Ujungkulon, Sawarna, Nusakambangan, bahkan mereka sempet nawarin gue di akhir bulan Januari kemarin buat ngajakin gue ke TN Baluran.
Sayangnya... manusia yang berencana, isi dompetlah yang memiliki kuasa.

Hitunglah jumlah batu bata di atas dengan saksama.

"Aku....aku....suka padamu."
"Bro! Gue kan juga ayam jago!"
Adik kecil ini lagi galau maksimal. Mengheningkan cipta, mulai.
Karena takut sama gelombang yang semakin sore semakin tinggi, akhirnya kami memutuskan buat balik lagi ke daratan Muara Kamal. Kami harus meninggalkan semua euforia akhir pekan dan menghadapi lagi peliknya kehidupan ibu kota. Menyedihkan.

Naik perahu berikutnya. Yang ini baru Fajar Bone.
Meniti jembatan di atas comberan.
Ya Rabb, baunya... Jakarta...

Ini adalah kali pertama gue melakukan wisata abstrak bersama strangers yang baru dikenal saat hari-H dan menurut gue... amat patut dicoba. Selain bisa nambah kenalan dan pengalaman baru pastinya, jalan-jalan kayak beginian juga bakal melatih kita untuk berbaur dengan orang-orang baru dari latarbelakang yang berbeda. Soalnya, bisa jadi... joinan bersama mereka yang belum dikenal bakal jauh lebih greget dibanding kongkow bareng temen-temen dekat, tapi malah sibuk dengan gadgetnya sendiri.
Ending macem opo...iki.

Ya udah, lah. Sampai jumpa di kesempatan lainnya. Adios, permios!

Photo

08/02/2014

di 17:30


Label:

0 komentar:

@rizkidwika

fatwa halal

fatwa halal

Universitas Indonesia


jama'ah