Cicero, seorang filsuf yang hidup di masa romawi kuno pernah
mengatakan “percuma men kalo elu libur semesterannye
dua bulan, tapi dokem doang kaga jalan-jalan.” Nah, di tengah fenomena
orang-orang yang meng-update tiap
aktivitas liburan mereka di Bandung, Jogja, Bromo, dan tempat-tempat mainstream lainnya setiap gue membuka social media, gue memilih untuk
mengawali semedi awal tahun dengan bepergian ke tempat yang dekat, murah, dan
jarang di-review para pemburu one-day-trip di internet. Apalagi
kalau bukan wisata ke Kepulauan Seribu. Lagi.
Yoi. Semenjak gue jalan-jalan random sendirian ke Pulau
Untungjawa setahun yang lalu, obsesi gue untuk menaklukan Teluk Jakarta semakin
besar. Ibarat Cornelis de Houtman, salah satu cita-cita gue adalah bisa
memerawani gugus-gugus pulau yang ada di sana. Status kebosanan libur semesteran
yang sudah membuncah pun melatarbelakangi gue memutuskan buat
join bareng forumers dari
Backpacker Indonesia yang kebetulan
membuka lapak
one-day-trip ke tiga situs
arkeologis bersejarah: Pulau Kelor, Cipir, dan Onrust dengan biaya seratus ribu
aja.
|
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang~ |
Perlu diketahui, di zaman kolonial dulu, ketiga pulau ini sempat
dijadikan asrama haji buat para jamaah pribumi yang mau berangkat ke tanah
suci. Berhubung secara finansial (faktor iman sih...) gue belum mampu buat
beneran pergi haji dan informasi wisata Kelor-Cipir-Onrust masih amat minim
buat di-googling, maka, pada
kesempatan kali ini gue akan membahas darmawisata abstrak yang dikemas secara
cerdas, tajam, menghibur, dan membumi dalam episode...
Orang Ganteng Naik Haji.
#NowPlaying Opick-Labaik Allahuma Labbaik.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
Perjalanan menuju
meeting
point di Dermaga Muara Kamal pagi-pagi tidaklah mudah. Jam lima tepat, gue
berangkat dengan kereta
commuter
pertama dari Kranji buat turun di titik transit pertama, Stasiun Cikini. Dari
sana, gue melanjutkan perjalanan dengan nyambung Transjakarta koridor tiga selama
kurang lebih satu jam perjalanan, kemudian turun di Halte Rawa Buaya. Abis itu,
gue harus menaiki angkot odong-odong alias mobil
carry plat hitam, kendaraan umum satu-satunya yang bisa dipakai
buat mencapai pasar ikan. Namanya juga musim lagi jelek, sepanjang perjalanan gue
dari Rawa Buaya menuju Muara Kamal ditemani dengan gerimis mengundang. Bahkan, menjelang
masuk pasar ikan, badan jalan yang dilalui angkot gue terendam banjir rob
hingga setinggi ban.
|
Nggak...niatnya bukan mau narsis...Sumpah... |
Setelah membayar delapan ribu rupiah, gue pun diturunkan di pengkolan
dekat pelelangan. Dari pengkolan, gue berjalan kaki lagi sekitar seratus meter
melewati ingar bingarnya pasar ikan, mengambil gang sebelah kanan yang mengarah
ke dermaga. Semerbak bau amis langsung
tercium sepanjang tempat pelelangan. Gue sangsi. Itu bau cakalang, tuna, apa
bau ketek abang-abang penjual ikannya.
|
Ayo neng-ayo neng-ayo neng |
|
Akang.. godain kita dong... |
Abis cuci mata, berkeliling, dan jepret foto sana-sini, gue
pun mengambil hape buat menghubungi Mbak Virlly, contact person yang mengadakan
one-day-trip ini. Masalah datang.
Kampret, sm*rtfren gue nggak ada sinyalnya.
Sembari panik, gue wara-wiri ke-sana-ke-mari mencari sinyal
buat sekadar menanyakan posisi doi. Setelah mati-nyala-mati-nyalain BB
berkali-kali, akhirnya gue terjangkau sama peradaban sinyal 3G. Nggak mau
menyia-nyiakan peluang, gue pun langsung janji ketemuan sama Mbak Virlly serta
teman ciwik-ciwiknya, Mbak Melan dan Mbak Vero.
Karena rombongan dalam tour ini mencapai 30 orang,
pemberangkatan yang semula dijadwalkan jam delapan pun ngaret jadi satu jam
karena harus nungguin rombongan lain yang kejebak macet dan banjir di jalan. Akhirnya,
dengan perahu motor Pajar Bone –pake P. Pajar. Trims- bersama-sama kami
mengarungi Teluk Jakarta selama setengah jam dengan riang gembira.
|
Hiphip! Hore!
|
Keramba. Yang cara mainnye ditektokin biar masuk lobang. Bebas,... |
|
Sepuluh menit pertama, semua baik-baik saja. Gue dan mbak-mbak
sekalian ngobrol, sambil
ice breaking
di bangku belakang.
Sepuluh menit kedua, air mulai nyiprat ke dalam. Kami berpegangan
sambil teriak “kapal oleng, kapten!” Iya. Niatnya emang becanda-becandaan.
Sepuluh menit berikutnya,situasi hening dan beneran mencekam.
Di tengah perairan, perahu kami terombang-ambing disapu gelombang. Hidup mati
kami saat ini bergantung sama abang-abang perahu ini. Akhirnya, dengan alasan
keselamatan, perahu yang seharusnya belok kanan menuju Kelor pun harus putar
haluan ke destinasi lainnya terlebih dahulu.
Batal sudah rencana gue untuk merekonstruksi pernikahan Rio
Dewanto dan Atiqah Hasiholan.
Menilik dari sejarah yang tertera di pusat informasi museum
di pulau ini, bisa dibilang, Onrust adalah saksi bisu betapa peliknya masa-masa
penjajahan. Di zaman Belanda, pulau ini sempat beberapa kali berganti
peruntukan, mulai dari benteng, tempat singgah, penjara, pengasingan, hingga
asrama haji yang saat ini udah jadi puing-puing cagar budaya yang dilindungi
sama Pemprov DKI. Nggak mau kalah dengan rombongan lain yang siap sedia dengan
tongsis yang dibawanya, sembari menikmati atmosfer kawasan dengan arsitektur
kolonial, gue pun melakukan banyak-banyak selfie menjijikan buat stok buat
ganti DP dan avatar nantinya.
Bebas Dwik, bebas.
|
Jangan percaya tipuan kamera. Ngeditnya lama, tiga kali puasa. |
|
Yang ini juga. Kerusakan bukan terjadi pada layar PC Anda. |
Selama dua jam, gue memilih untuk misah dari rombongan dan mengelilingi
Pulau Onrust sendirian. Masuk ke museum, menyusuri hutan-hutan, main air di
pemecah ombak, hingga blusukan ke kuburan belanda. Nah. Supaya piknik cantik
ini terasa makin asoy, abis mencari pose avatar-avatar terdahsyat 2014, gue pun
memakan nasi bekal yang dibawa sembari menikmati angin yang beneran sepoy-sepoy.
|
Konon, pulau ini dulunya terkena dampak gelombang tidal dari letusan Gunung Krakatau juga. |
|
Konon, dulunya, pohon ini, belum ada. Soalnya... belom ditanem. Bye. |
|
Called "Sherina-mencari-Saddam" style. |
|
Buihnye, ampe tumpe-tumpe! |
Pas lagi salat zuhur, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
Kami yang berniat mau nyebrang ke Pulau Cipir terpaksa harus menunggu karena
cuacanya emang nggak memungkinkan untuk langsung pergi ke sana. Padahal, jarak
Onrust ke Cipir cuma lima belas menitan. Dua puluh deh, kalo ditambah waktu abang-abang
perahu menyusun strategi buat markirin perahunya. Oke, tiga puluh. Duh, ente
mau ambil berape losin sih, nawar mulu!
|
Hujan turun membasahi seolah kuberair mata, gitudeh. |
Singkat cerita, kami terduduk menanti
meski harus penantian
panjang hingga setengah dua.
Setelah
melihat-langit-di-atas-selepas-hujan-reda-dan-kau-lihat-pelangi, barulah kami diperbolehkan
untuk menaiki dua perahu motor Pajar Bone itu lagi. Masalah season dua datang. Abang-abangnya
kesulitan men-starter motor diesel
perahunya.
Dengan terus menerus menarik tuas mesin yang kebisingannya
setara dengan bajaj itu, abang-abang pemilik perahu kelihatan terus mencoba. Gelagatnya
menandakan gaya sok kalem seolah nggak ada apa-apa. Padahal, mimik wajah dan
sorot matanya mengatakan bahwa sedang terjadi suatu marabahaya.
Setengah nyerah, doi memanggil abang-abang perahu
sepermainan lainnya buat membantu narik tuas tersebut.
“NGGGHHH” Abang-abang panggilan itu memanfaatkan
kesempatannya yang pertama.
“BLEBEGBLEBEG” Gagal, saudara-saudara.
“NGGGGGGGGGGHH”
“BLEBEGBLEBEGBLEBEG” Mesin itu berdehem lagi. Nyinyir.
“HHHHHHHHHHHHHHHHHHH” Abang tadi berusaha semakin keras.
“TSAAAAAK” Apa yang terjadi saudara-saudara!!!
*freeze*
*zoom-in*
BERSAMBUNG...
1 komentar:
24 June 2016 at 08:30
Permalink this comment
Hai kak rizkidwika, waahh kerenn boleh tuhh piknik bareng, Btw aku juga suka onedaytrip cuman aku lebih suka ke daerah bogor kak ekplore2,salamkenal ya kak.