Ehm. Hi there.
IYESSSSSSSSSS----SEMESTER-ENAM-YANG-LELAH-HAMPIR-HABIS-DAYAKU-MEMBUKTIKAN-PADAMU-EH-BERDIRI-MAK-BULU-ROMAKU-TERKURAS-HABIS-ISI-DOMPETKU-MALAIKAT
JUGA TAHU TELAH SELESAI! TAHUN TERAKHIR SEBAGAI MAHASISWA SEGERA DATANG!
WOHOOOO!
Yoi, sob. Studio Perancangan 4 dan segala macam matkupil
markipul yang bebannya nggak kalah dengan perguruan shaolin telah berlalu.
Lewat postingan ini, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan buat
Tuhan yang Mahakuasa, orang tua, juga tak lupa kepada geng yang telah mengisi
kesepian hidup saya sepanjang semester ini: Mz Denny Alyas-Mz Lontong-Mz
Komeng-Mb Annabelle, serta “Tetangga Masa Gitu” Mb Enjel Mz Adi-Bee-Bastian.
Panasonic Awards ini Nikita persembahkan buat kalian.
#TeamMasAdi |
Singkat cerita, setelah menyelenggarakan pengajian, potong
tumpeng, dan membuang kepala kerbau ke lautan, untuk merayakan keberhasilan gue
dalam menyelesaikan semester ini, gue memutuskan buat melakukan backpacking sendirian ke suatu wilayah yang
belum pernah gue jamah sebelumnya. Berbekal duit beasiswa yang udah cair, gue pun
pergi ke indomaret untuk mencermati satu per satu nama kereta dan tujuannya, kemudian
memesan tiket pergi pulang. Oke, gue bakal bepergian ke Jawa Timur, beli tiket
berangkat jurusan Malang dan pulangnya dari Surabaya.
Ngapain? Gue juga nggak tau mau ngapa.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
***
Bukan Departemen Arsitektur namanya kalo jadwal UAS-nya
tepat waktu dan nggak diundur-undur. Di kala dept lain udah bebas, ekskursi
seangkatan, bahkan ada yang jalan-jalan, kita-kita masih disibukkan dengan
photoshop dan perihal cetak-mencetak yang selalu merampok lembaran
Sukarno-Hatta dari dalam dompet di setiap semesternya. Bahkan, H+1 dari jadwal
keberangkatan, sesungguhnya masih ada dua UAS take home yang harus dikumpulin. Terus gue mikir, sayang banget lah
kalo tiketnya dibiarin hangus cuma buat numpuk paper di kampus doang. Akhirnya,
dengan backpack besar dan setengah
laporan UAS tekbang yang belum selesai, tanggal 17 kemarin gue memutuskan nekad
berangkat meninggalkan Depok demi mengejar kereta Matarmaja yang berangkat dari
Stasiun Pasar Senen jam tiga sore.
Berdasarkan jadwal yang tercetak di tiket, kereta yang gue
tumpangi bakal sampe di Malang pukul tujuh pagi. Artinya, estimasi tempuh hingga
kota tujuan sekitar enam belas jam. Gimana nggak? Jalur kereta menuju Malang
ini ternyata ribet beneran, soalnya harus melalui banyak tikungan yang membelah
pegunungan. Untuk memecah kebosanan, seperti biasa, gue selalu memesan tempat
duduk di pinggir jendela. Iya, dengan alasan bisa ngeliat sawah, gunung, sambil
nyanyi Sherina yang Balon Udara. Bye.
Maap. Ini bukan foto mudanya Prabowo apalagi Al Ghazali. |
Meski gue naik kelas ekonomi yang tarifnya Rp65.000,00-an, setahun
belakangan, semua kereta udah dilengkapi colokan dan pendingin udara. Bisa
dibilang, sekarang yang ngebedain kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi cuma tingkat
kenyamanan bangkunya doang. Jangan harap dapet dudukan ergonomis di kereta
ekonomi. Udah sandarannya siku-siku, literally
sembilan puluh derajat, masang busa joknya juga setengah hati pula. Nggak
heran, banyak pengguna kereta yang memilih tidur lesehan di bawah bak korban
perang yang baru saja meregang nyawa.
Semakin malam, gerbong kereta pun semakin dingin. Sembari
tak sengaja melihat ibu-ibu netein anaknya di mana-mana, gue melakukan
peregangan dan kembali ngerjain UAS yang tersisa, biar cepat-cepat bisa dikirim
ke temen gue sebelum fajar tiba.
***
Rekor perjalanan gue ke arah timur Jakarta yang sebelumnya amat
cupu, cuma sampe di Cepu, Jawa Tengah, akhirnya pecah juga . Gue pun mendarat
di Stasiun Malang tepat waktu sekitar jam tujuh pagi kurang. Setelah memastikan
semua penumpang udah keluar gerbang duluan, gue pun berjalan menuju signage stasiun untuk melakukan selfie yang gue post ke Path dengan
tulisan: “Serius tanggal segini masih di
Depok aja ngumpulin UAS? Pft.”
Kayaknya abis ini gue dikeluarin dari angkatan, deh.
Oke. Perjalanan Digital di Kota Apel pun dimulai. Berbekal
Google Maps, gue mencari titik mana aja yang harus disambangi buat sekadar
melihat arsitektur kota sekaligus foto-foto. Nggak jauh dari stasiun, mata gue
pun tertuju pada yang ijo-ijo, Taman Bentoel Trunojoyo. Hal pertama yang gue
lakukan adalah histeris sambil mengeluarkan kata-kata anjir berkali-kali.
Gile, gue nggak nyangka ada taman kota se-badai ini di sana.
Fasilitas yang ada di sana lengkap banget. Ada amphitheatre, kolam pasir, perosotan TK, sampe perpustakaan baca.
Bisa gue bilang juga, taman itu bener-bener well
designed, loh. Nggak cuma yang penting ada terus finishing pake cet kuda terbang doang. Jadilah suasana Malang di
pagi hari nan seksi tersebut gue nodai dengan prosesi selfie kembali.
Program CSR Bentoel untuk Malang gidudeh |
Bukan Pelaminan Pesta Kebun, sis |
Ruang Baca dan Koleksi |
Mz lyatin sp mz? |
Gue melanjutkan perjalanan, kali ini ke tugu yang ada di bundaran
wali kota. Sekilas, bentuknya mirip Tugu Muda yang ada di Semarang. Cuma,
bundaran ini lebih pecah karena dikelilingi sama kolam teratai yang amat banyak.
Puas foto-foto lagi, gue kemudian memilih naik becak buat menuju alun-alun
kota.
Dengan lima belas ribu, gue menikmati asyiknya Malang dari
atas becak. Banyak banget gedung zaman prakemerdekaan, baik yang bergaya indis
maupun art deco yang masih berdiri apik dan terawat sampe sekarang. Setibanya
di alun-alun, gue kembali tercengang. Bagus banget...
Bundaran Tugu |
Qisa-qisa sojjjj, ker! |
Pst! Dapat Salam dari Taylor Lautner. |
Bandingin Deh Sama Bekasi. BANDEEENGEEEEN!!! |
Suatu Gereja di Persimpangan Malang |
Perempatan Sebelum Alun-alun. Diambil dari Becak |
Gereja dan Masjid Jami yang Kepaut Satu Bangunan Doang |
Alun-alun Kota Malang bukan berupa lapangan luas, melainkan
taman yang ditata dengan hutan rindang, kolam, dan plaza yang kerap disinggahi
burung dara yang dipelihara di sana. Bener-bener memuaskan gue sebagai penduduk
Bekasi perantauan Depok yang haus akan ruang hijau terbuka. Aseli, kota yang terkenal dengan bahasa yang kebolak-balik ini
romantis abis pokoknya.
Di tengah kesyahduan kicauan burung dara, tiba-tiba gue merasakan ada sesuatu yang
mengganjal.
Dari Gerbangnya, Rek |
Ade, Posenya Biasa Aja De... |
Belakang: Mesjid Jamie Malang, Depan: Plaza Alun-alun |
Kok gue jadi pengin ee ya...
Gue berjalan ke sana ke mari mencari toilet terdekat. Di
tengah perjalanan, sekonyong-konyong gue menemukan segerobak bakso pinggir
jalan yang ukurannya besar dan menggiurkan. Karena belom sarapan, gue melipir
masuk ke tenda dan menikmati seporsi bakso, mie, lontong, dan bakwan seharga
Rp12.000,00. Gokil, sob! akhirnya kesampean juga makan bakso malang di kota
Malang!
Eh bentar.
BUKANNYA TADI GUE LAGI NAHAN BOKER? KOK INI MALAH MAKAN!
Perut gue semakin penuh. Tiap ditepuk, semburat gas beracun
keluar pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara. Dengan penuh perjuangan, akhirnya
gue menemukan Ramayana terdekat dan berhasil membuang muatan di sana.
Leganya...
Kelar jalan, makan, boker, dan foto-foto, gue melanjutkan
perjalanan naik ancot ke Universitas Brawijaya buat nemuin salah satu temen
yang bisa nampung gue sehari kurang. Awalnya, gue berencana buat nebeng di
kosan temen ekskul zaman dulu, Rizki DSS. Berhubung doi masih UAS sampe sore,
akhirnya gue memilih buat meng-inang di kosan Hafid, temen sedari SD sampe SMA.
Oh iya, FYI aja, ancot di Malang pengelompokannya menurut
gue cukup unik. Bukannya dibagi berdasarkan nomor trayek, setiap ancot yang ada
di Malang justru dinamai dengan singkatan rutenya masing-masing. Misalnya ada LDH
–singkatan dari Landungsari Dinoyo Hamid Rusdi, LDG—Landungsari Dinoyo Gadang, atau ADL –Arjosari Dinoyo Landungsari, atau. Bahkan kata Hafid, ada angkot yang kalo
disingkat CKL. Iya, namanya rutenya seolah menstimulasi orang buat c*k*l.
Cakil maksudnye, ngeres ae, rek.
Abis ngobrol-ngobrol dan numpang membersihkan badan, gue pun
diajak sama Hafid buat nyari angin ke Batu, kota wisata yang lagi ngehits
beberapa tahun belakangan. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari Malang
kalo pake motor.
Sesampainya di sana, kami keliling-keliling sikit sambil
mencicipi susu murni yang terkenal di Batu. Alun-alun Batu sendiri terkesan ditata
dengan sebegitu gaulnya, padahal, bisa dinikmati gratis oleh siapa dan kapan
saja. Ada lampion besar berbentuk hewan, pohon-pohon yang teduh, air mancur, kantor
polisi berbentuk buah stoberi, juga bianglala raksasa. Selain itu, hawa di sana
juga jauh lebih dingin dari Puncak. Nggak heran kalo dari sore hingga malam
banyak muda-mudi yang berpacaran, yang menurut Hafid menjadi cobaan terberat
bagi remaja LDR sepertinya. Bahkan, nggak cuma muda-mudi aja yang merapat, muda-muda
pun banyak yang terang-terangan berduaan di alun-alun ini. Dingin sih dingin,
tapi kok agak gimana, gitu ya...
Lingkari Gambar di Atas: Mana yang Pacaran, Keluarga, dan Selingkuhan! |
Jam setengah tiga pagi-pagi buta, gue dianter Hafid ke
stasiun buat ngejar kereta lokal pertama menuju Surabaya. Awalnya, gue pikir keputusan
buat beli tiket berangkat ke Malang agak kurang tepat. Soalnya, gue bener-bener clueless dan nggak tau mau ngapain di kota itu, bahkan, gue baru
nyari tahu ada apa aja di sana sesaat setelah nyampe di stasiunnya. Setelah nyari
angin langsung dan cuci-cuci mata, terbukti gue kebanyakan terkesimanya.
Well, setelah jatuh cinta sama bakwannya sejak dini, kali ini fix gue mendeklarasikan bahwa gue kagum sama kotanya. Nggak apa-apa deh, naksir sama kotanya, daripada jatuh cinta sama orang aslinya?
4 komentar:
22 June 2014 at 15:40
Permalink this comment
Malang kok keliatan nya bersih banget ya, gua jadi pengen ke Malang, dan makan bakso disana, biar gua tuh makan bakso Malang dan di Malang langsung, biar gua pulang-pulang langsung jadi orang termalang sedunia haha, ga lucu ya.
29 June 2014 at 09:20
Permalink this comment
Ih kan ih, gue makin pengin ke Malang. Pengin jalan ke Batu, terus main-main di Pantainya. Aelah. :3
1 July 2014 at 02:38
Permalink this comment
Aseli Malang bersih abis, kalo dibanding sama kota gue di Bekasi sama Depok yang kelam ya.
hahaha gpp sob! yang penting usahanya.
apeu...
1 July 2014 at 02:40
Permalink this comment
Pantai di Malang konon petjah badai loh! kawasan Sempu gitu. Mana harus membelah hutan sama bukit berjam-jam pulak! hue...
terima kasih sudah melipir! woyo!