PUSING PALA BERBI-PALA BERBI (No Treble)
PUSING PALA BERBI-PALA BERBI (No Treble)
PUSING PALA BERBI-PALA BERBI (No Treble)
PUSING PALA BERBI-PALA BERBI (No Treble)
Penggalan lagu keluarga Bahar yang
semena-mena menggabungkan lagu All About That Bass dengan kearifan lokal musik dangdut
dorong mengawali tulisan pertama gue di bulan Maret ini. Kenapa harus memilih
lagu ini? Alasannya sederhana. Belakangan, gue sering banget merasakannnya. Literally sakit kepala.
Jumat pagi kemarin, gue harus
bangun setengah enam buat ngejar commuter
line jam 6.20 supaya bisa sampe di kampus dan ngasdos studio jam delapan. Sementara itu, gue
baru kelar nge-draft Bab 1 dan Bab 2 jam setengah tiga. Jadilah gue terbangun
dengan kepala bagian tengah kepala serasa diremas-remas dari dalam. Sakitnya bukan
main, sampe uring-uringan.
Perhatian: gambarnya dapet di Google, bukan koleksi pribadi. Trims. |
Semenjak semester enam, migrain terutama
di sebelah kanan menjadi salah satu hal yang gue alami meski sesekali. Gara-gara
kebanyakan mikir studio sih kayaknya. Tapi dalam bulan ini, intensitas sakit
kepala sebelah gue semakin hebat. Baru jam satu pagi aja, denyutan di kepala
aja udah luar biasa. Gue pun belum menyempatkan diri untuk melakukan check up. Mau ambil rujukan, harus bolos
ngampus. Mau ke PKM kampus, ntar dibentak ibu-ibu gendut si petugas galak. Pas lagi jalan pulang di kereta… eh… nemu
kabar Olga Syahputra meninggal gara-gara peradangan di selaput otaknya …….Gimana
nggak nambah parno coba.
Yaudahlah ya, camil panadol merah
dulu aja.
Setidaknya, ada beberapa hal yang membuat
gue sering kerja lembur di bulan Maret yang cukup menyebalkan ini. Yang
pertama, skripsi. Nggak ding, sejauh ini lancar-lancar aja tuh. Selain ngasdos
studio dan jatuh bangun belajar Bahasa Jepang, waktu gue belakangan dihabiskan buat
ngerjain karya tulis dalam rangka……...seleksi mapres utama.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
***
Begini ceritanya.
Mula-mula, gue, Naufal, Eka, Monic ‘12,
dan Deassy ’12 ditarik-tarik sama anak Piptek IMA buat ikutan seleksi berkas. Dalam
perjalannya, Eka malah mundur nggak ikut masukin karya tulis. Tinggal sisa
empat orang. Sebagai mahasiswa oportunis, nggak ada salahnya buat gue ikut masukin
berkas sekaligus simulasi presentasi. Eh …………malah masuk tiga besar bareng
Monic dan Deassy. Alhasil, muka kita kepajang di spanduk di pintu masuk
departemen selama beberapa minggu. Ya. Semacam daftar pencarian buronan hilang.
Kalo nanti udah selesai, yang mau copot, copot aja, jadiin teman bobo. |
Abaikan kelakuan dua gadis berikut ini. |
Sialnya, ketidaksengajaan ini terjadi terus menerus. Beberapa minggu kemudian, gue dikabari sama anak Akpro BEM FTUI
kalau gue masuk enam besar dari 22 berkas dan CV yang diseleksi sama mahalum
dan dekanat. Dua orang dari Sipil, dua orang dari Metalurgi, satu dari Industri,
satu lagi dari Ars. Gue lolosnya cuma sendiri. Mati.
Dalam waktu seminggu kurang, gue
langsung ngebut mengerjakan karya tulis ilmiah belum dikerjain bahkan ganti
topik karena pas diseleksi di jurusan dirasa sang Kadept kurang asyik. Dalam
ngerjain karya tulis, gue pun memilih untuk diasuh kembali oleh sang Kak Enira yang
sebelumnya udah menjabat sebagai pembimbing akademis sekaligus dosen pembimbing
karena gue selalu punya ketertarikan buat membahas kasus urban interior lagi. Semester
ini kayaknya semacam ditakdirkan menjadi semesternya doi.
Setelah diizinkan mengesampingkan
skripsi, gue pun berhasil menyelesaikan karya tulis tepat pada waktunya. Permasalahan
yang gue angkat sebenernya picisan, ecek-ecek banget. Mengamati perilaku masyarakat
kota yang membuang sampah sembarangan di ruang urban terutama stasiun kereta transit,
kemudian mengusulkan solusi berupa desain yang sebetulnya sangat abal buat
mendapatkan straight A di studio perancangan.
Yes. Patut diketahui, dari awal masuk, jebret, dan terlahir di FT, nggak pernah terbesit sama sekali di pikiran gue buat ikutan seleksi ini, apalagi sampe ngewakilin departemen segala. Prinsip gue, dalam seleksi yang amat expect-less ini, karena udah terlanjur basah, yaudah gue harus renang terus meski gaya batu sekalipun. Mundur lagi deh timeline gue buat nyelesein naskah buku……
Presentasi di dekanat. Bukan, ini bukan lagi karaokean. |
Abal-abalan yang dipresentasikan. |
Abak-abalan yang dipresentasikan (2). |
Remah rengginang di antara juri dan kandidat-kandidat super lainnya. |
Yes. Patut diketahui, dari awal masuk, jebret, dan terlahir di FT, nggak pernah terbesit sama sekali di pikiran gue buat ikutan seleksi ini, apalagi sampe ngewakilin departemen segala. Prinsip gue, dalam seleksi yang amat expect-less ini, karena udah terlanjur basah, yaudah gue harus renang terus meski gaya batu sekalipun. Mundur lagi deh timeline gue buat nyelesein naskah buku……
Mungkin, yang begini-begini ini sih
yang berkontribusi besar terhadap simtom kepala gue gampang pusing. Agak kontradiktif
juga sih, di satu sisi, ada pendapat yang mengatakan bahwa kita harus breaking our limit supaya jadi pribadi
yang lebih kompeten. DI sisi lain, ada yang bilang kalo manusia harus tau di
mana kemampuan badannya karena kita punya batasnya. Kan bikin bingung ya? Yaudahlah
ya. Yang penting, jangan lupa tarik napas dan sisihkan waktu buat jalan-jalan.
Nggak penting kan? Emang.
Minggu depan gue sharing cerita soal
Medan ya!!!
Loh, kok Medan?
Ada deh... Selamat Sabtu malam!!!
Loh, kok Medan?
Ada deh... Selamat Sabtu malam!!!
4 komentar:
29 March 2015 at 10:10
Permalink this comment
Keren nih jadi mapres.... Congrats ya bang!!!!
31 March 2015 at 19:55
Permalink this comment
wah, mapres si-grafik-siak-ng ini. semangat, ya :)
18 April 2015 at 22:33
Permalink this comment
barca baru baca.
situ remah rengginang da aku ma apa atuh, belek rayap? :(
18 April 2015 at 22:33
Permalink this comment
barca baru baca.
situ remah rengginang da aku ma apa atuh, belek rayap? :(