CAST
Rizki Dwika,
doang, sendirian. Mahasiswa arsitektur interior yang kadang bermuka dua, namun belum
berkepala dua. Dirinya adalah pemuda kebanggaan bersama milik kita bersama yang
ditakdirkan satu untuk semua.
Keterangan: Postingan mahapanjang ini dibuat untuk mengikuti kontes
#NekadBlog dari #NekadTraveler Telkomsel Flash!
main-main ke sindang yey, seus!
:3
Sabtu, 19 April 2013
Siapa bilang
untuk menikmati indahnya lautan dibutuhkan waktu lebih dari sehari?
Pagi-pagi
buta, secara tiba-tiba gue udah meninggalkan kosan tercinta. Bukan, gue bukan
bermaksud untuk lari pagi keliling UI, meski ujungnya harus lari-lari juga
ngejar KRL ekonomi.
Spesial di hari ini, gue akan menjalani sebuah program
melarikan diri. Di akhir pekan, gue telah menyusun rencana pelarian dari
berbagai tekanan: beban ngampus, suntuk dengan Depok, dan problematika lainnya.
Apalagi kalau bukan samsara cinta.
(#NowPlaying:
Juwita Bahar—Buka Dikit Joss Afgan—Jodoh Pasti Bertemu)
Benar. Setelah
mencapai usia yang kesembilan belas di tanggal 17, gue merencanakan untuk
mengadakan sebuah birthday trip,
sendirian. Ada orang yang bilang, kalo kita bepergian sendiri, kita bakal jadi lebih
wise pas menikmati setiap destinasi. Nah,
dalam momentum bertambahnya usia ini gue berwacana untuk meminimalisasi pesta
pora hura-huraan, karena banyak sekali yang mau gue renungkan.
Jauh-jauh
hari, berbekal teknologi mahaupdet bernama internet, gue mengumpulkan segala
informasi dari para blogger gimana
caranya bisa keluar dari Jabodetabek tanpa menghabiskan banyak biaya. Dengan
sisa receh mahasiswa tengah bulan, akhirnya gue memutuskan untuk mencari
lautan.
Ini adalah
sebuah.... one-day-lonely-birthday-trip
ke Pulau Untung Jawa.
***
Setelah capek
lari-lari, gue berhasil mendapatkan KRL ekonomi paling pagi dari stasiun UI.
Emang sih, saat itu tarif progresif belom diberlakukan oleh PT KAI. Jadi, seumpama
gue ketinggalan kereta, gue kudu mengeluarkan ongkos ekstra, yang artinya gue bakalan
menodai budget perjalanan yang mahamurah ini. Untungnya hal itu nggak terjadi.
Jam setengah
tujuh, gue tiba di Stasiun Sudirman kemudian melanjutkan perjalanan dengan Transjakarta.
Karena masih pagi, ternyata gue kebagian karcis Tranjakarta yang harganya dua
ribu rupiah doang. Maka, jadilah gue berhasil menempuh Depok-Kalideres dengan beberapa
lembar pattimura aja.
Setibanya
gue di Terminal Kalideres, berdasarkan arahan dari blog yang gue temukan, gue harus
mencari angkot hijau trayek Kalideres—Kotabumi, lalu turun di sebuah tempat bernama Pintu Air.
Bagi gue, Tangerang
adalah kota yang random, kota yang belom pernah gue datangi dengan sendirian. Berbeda dengan Bekasi maupun Depok yang cenderung
gersang, gue justru menemukan banyak sekali pohon dan sungai-sungai di
Tangerang. Saking menikmatinya, gue kelewatan buat turun di Pintu Air dan gue
kesasar.
“A:
Kesasar... Kesasar-Musdalifah?” “B: HIH, ITU NASTAR!”
Nastar dan Musdalifah. Courtesy of Dokter Laraskusuma |
Setelah disuruh
nyari angkot arah balik sama sopir yang bersangkutan, akhirnya gue berhasil touchdown di titik transit berikutnya,
yaitu Pintu Air. Dari sana, gue meneruskan perjalanan dengan angkot Elf jurusan
Kampung Melayu —Bukan, bukan, Kampung Melayu di sini bukanlah Kampung Melayu Jakarta
Timur yang macetnya mendunia. Sebut aja wilayah ini Kampung Melayu season dua.
Perjalanan
belom selesai. Untuk mencapai dermaga Tanjung Pasir, gue emang diharuskan
putus-nyambung-putus-nyambung dengan tiga trayek angkutan umum. Yoi, Melelahkan.
Sepanjang
perjalanan, gue disuguhkan pemandangan perkampungan dan kali-kali. Saat asyik nggak
sengaja nontonin orang mandi, tiba-tiba gue menemukan benda asing menakjubkan di
sisi kiri. Wait, kok di tempat ginian
ada bodi-bodi pesawat gede? Men, ini ‘kan Soetta!!!
Gue mencoba
mengucek mata untuk meyakinkan mimpi apa bukan. Ternyata, Bandara
Soekarno-Hatta beneran. Dalam persejarahan perangkotan, seumur-umur, gue baru tahu
kalo ada angkot yang trayeknya melintasi sebuah bandara.
Perbesar dan bacalah. Iya! Bandara Soetta!!! |
Matahari makin meninggi, angkot itu terus menyusur jalan sepanjang Soetta diiringi Ruth Sahanaya yang menggema dari balik earphone.
Perjalanan
ini terasa lawas sekali, saudara-saudara.
***
Menurut blog
yang gue buka, pelayaran paling siang dari dermaga adalah jam setengah sebelas.
Karena takut ketinggalan, begitu gue mendarat di Kampung Melayu season dua jam setengah sepuluh tepat, gue
langsung oper menaiki angkot putih jurusan Tanjung Pasir. Apa daya, penumpang yang
berusaha, abang sopir-lah yang menentukan.
Karena nggak
penuh-penuh, abang sopir tersebut urung menjalankan angkotnya. Dengan muka bete,
akhirnya gue mengambil secarik kertas dan spidol dari dalam tas.
Tepat, gue nungguin
angkot ngetem sambil nulis surat.
Gue terobsesi
banget sama karakter Kugy, tokoh rekayasa bikinan Ibu Suri Dee Lestari. Di novelnya,
setiap Kugy merasa galau, doi bakalan pergi ke laut untuk melarung surat-surat
yang dilipat menjadi perahu kertas yang ditujukan pada dewa neptunus. Berhubung
zodiak gue aries dan nggak mungkin pergi ke Garut buat menemui dewa domba,
jadilah gue meniru apa yang dilakukan sama dia.
Alasan gue jauh-jauh
ke sini emang buat mengirimkan surat pengaduan ini.
Setelah
ngetem lama, akhirnya angkot putih itu mulai berjalan pelan. Lagi-lagi, gue
disuguhkan pemandangan langka yang nggak gue temukan di Depok maupun Jakarta.
Gue melihat ladang rumput dan persawahan yang hijau dan masih luas. Oh iya satu
lagi, daerah sana banyak tambak. Alhasil sepanjang jalan, wangi gue kalah sangit
sama bau ikan.
Mata Kamera dari Dalam Angkot. |
Jam setengah
sebelas tepat, akhirnya gue tiba di sana. Tanjung Pasir terlihat seperti.......
ya tanjung yang berpasir. Lautnya keruh, kurang tertata rapi. Waktu gue mendekat
ke dermaga, sebuah kapal baru aja diberangkatin. Gue langsung disamperin seorang
nelayan.
“Tong, mau nyabrang?”
“Iya Pak, Untung Jawa. Berapa emang?”
“Tiga pulu ribu”
“Buset. Biasanye dua pulu?”
“Ye, kan situ ndirian.”
Dasar nasib.
Udah jomblo, pergi sendiri, kena mahal pula.
Akhirnya, nelayan
tadi pun memanggil kembali “Cemara Jaya” yang udah ninggalin daratan. Gue langsung
masuk ke kapal tersebut sambil diliatin rombongan penumpang dengan muka penuh
dendam kesumat.
Ah, bodo amat.
***
Di atas
perahu, tangan dan mata gue nggak lepas dari kamera poket. Di sini, gue
merasakan kembali sensasi visual yang udah lama gue rindukan. Lautan. Sepanjang
mata gue memandang, yang gue temui cuma gradasi warna biru antara air laut dan
langit yang saling berbaur dan nyaru. Berbeda dengan laut di dua perjalanan
sebelumnya, nggak tahu kenapa, gelombang di Teluk Jakarta ini juga amat pelan.
Menenangkan. Bro, gue merasa bebas.
Meninggalkan Pulau Jawa |
Ini pemandangan apa Cherrybelle? Istimewa! |
Kece Badai. Ini Teluk Jeka:da, btw. |
Merapat, Kapten! |
Setelah dua
puluh menit perjalanan, akhirnya perahu melipir juga ke dermaga. Masing-masing
orang bersiap untuk turun, sedangkan gue memilih untuk memandangi perairan sekitar.
Selamat Datang, Kakak! |
Selamat Datang, Budhe! |
Well, Pulau Untung Jawa adalah pulau yang
pertama kali gue nikmati dari keseluruhan gugusan Kepulauan Seribu. Namanya
juga baru pertama, begitu sampai di pulau,
gue malahan kebingungan. Gue pun memutuskan untuk melihat hutan bakau terlebih
dahulu.
Di daerah
timur, terdapat kawasan konservasi bakau dilengkapi path yang dapat digunakan untuk wisatawan yang kebelet jalan-jalan.
Di track itu juga tersedia beberapa gazebo
buat para pengunjung yang mau neduh dan ngaso-ngaso.
Asli. Untung
Jawa puanas banget, nyet. Setelah panas-panasan, akhirnya gue mampir ke sebuah
gazebo untuk beristirahat sambil menggelar nasi uduk bekal. Sambil mengunyah
bakwan yang keasinan itu, gue menemukan banyak sekali coret-coretan vandal.
I Love You, too. |
Begitu
melihat ada pagar, seketika gue kepikiran sesuatu. Gue langsung mengeluarkan
kamera poket, menaruhnya di sana, lalu mengaktifan self timer-nya selama sepuluh detik. Yoi, gue malahan narsis-narsis
sendiri.
Karena nggak
ada yang motoin, gue memanfaatkan free
time tersebut buat melakukan berbagai pose annoying. Lumayan lah, hasilnya kayak foto-foto pre-wedding yang minus
pendamping.
"Dipotoin siapa?" "Selfi" "Hah?" "Iya, Selfi-timer" "K" |
"Yang, kok gitu sama aku?" - Dwika, masih pada Bayangan lagi. |
BAKAUNYA, PECAH! |
Merasa
bosan, gue pun kembali menyusuri pantai sepanjang hutan bakau lagi. Nggak lupa,
gue memasukkan bekas sampah nasi uduk tadi ke dalam kantong plastik yang udah
gue siapkan sebelumnya, dan disimpen lagi di dalam tas.
Nah, di banyak
tempat wisata yang pernah gue datangi, fasilitas seperti tempat sampah seringkali
justru nggak memadai. Kalo nggak aware,
kebanyakan dari kita pasti bakalan ngebuang sisa makanan secara serampangan. Nah,
inilah perilaku yang salah dan udah pasti perlu diubah.
Ironis memang. Destinasi kece yang gampang diakses dari Jakarta dan mahaindah ini justru lautannya dihiasi terumbu-terumbu sampah. Sebagai
wisatawan yang cuma numpang liburan, udah seharusnya kan kita berlaku sopan
sama lingkungan?
Banyak sampah di akarnya :( |
Terumbu sampah :( |
Gue
melanjutkan perjalanan ke sisi barat pulau tersebut. Di daerah ini, gue lebih
banyak menemukan peradaban. Gue mampir ke sebuah taman dan monumen bernama Amiterdam.
Ternyata, pulau ini dulunya bernama Amiterdam, hingga akhirnya berganti nama
jadi Untung Jawa, yang artinya keberuntungan buat mereka-mereka yang dateng
dari daratan Jawa. Bukan maen.
Di seberang
monumen itu terdapat sebuah menara pantau, masjid, juga sebuah kantor
kelurahan. Secara administratif, Pulau Untung Jawa emang masuk ke dalam Kabupaten
Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Mungkin itulah mengapa fasad
bangunannya khas banget betawinya, a la-a la Si Doel Anak Sekolahan gitu, deh.
"NP: AAAA-NAK BETAAWI. KETINGGALAN JAAAMAAAN. KATEENYE" |
Well, karena nggak merencanakan untuk
berenang di siang bolong dan bingung mau ngapain lagi, akhirnya gue memilih
untuk mengelilingi pulau sambil berjalan kaki.
Hampir
persis satu jam gue mengelilingi pesisir pantai pulau seluas empat puluh hektar
itu. Di perkampungan setempat, banyak banget yang membuka jasa homestay dengan tarif sekitar 200 ribu-an
termasuk pendingin ruangan. Nggak cuma itu, banyak pula penduduk yang berjualan
makanan, camilan, kerajinan, bahkan bubu, nama kurungan dari bambu yang biasa
digunakan buat nangkep ikan.
Taman Amiterdam |
Monumen Amiterdam |
Pantai tak Berpasir |
Gersangan mana sama hati kamu, hayo? |
BUBU! AKU SYAHRINI, BUBU! |
Setelah puas
jalan-jalan, jam dua gue memutuskan untuk kembali ke dermaga.
Bersiap
melarung perahu kertas yang bisa jadi isinya berharga.
Saat itu,
dalam Cemara Jaya yang lagi perjalanan kembali ke Tanjung Pasir cuma ada dua
orang, yaitu gue dan sang nelayan doang. Karena merasa lega dibanding pas
berangkat, gue langsung nongkrong indah di bagian haluan, sambil mempersiapkan perahu
kertas dari dalam tas.
Halo, Neptunus. Aku Kugi. Kugilatanpadirinya. Trims. |
Pada secarik
kertas tersebut, banyak sekali hal yang gue tujukan pada Semesta. Segala keluh,
kesah, unek-unek, dan berbagai samsara gue tuliskan di dalam sana, termasuk
ucapan terima kasih atas telah bertambahnya usia dan skenario hidup yang kini
gue jalani.
Melankolis
abis.
***
“Traveling-it
leaves you speechless, then turns you into a storyteller.” –Ibnu Battuta, tentunya dalam dialek Persia, bukannya
Anglo-saxon.
Ternyata, nggak selamanya pergi sendiri itu mengerikan. Setelah gue mencicipinya
langsung, jalan-jalan sendirian itu nggak buruk-buruk amat, kok. Seperti yang
udah gue bilang di bagian awal, bepergian sendiri itu justru membuat kita lebih
dewasa. Saat melangsungkan sebuah pelarian, kita bisa sekalian merenung,
memikirkan berbagai peliknya permasalahan duniawi yang lagi kita hadapi.
Makanya, jangan takut di-cap forever
alone.
Menurut gue, lari dari masalah nggak ada salahnya, selama pelarian itu
digunakan buat introspeksi. Karena, pada hakikatnya manusia lahir ke dunia ini
buat bereksplorasi, berlari: berpindah dari satu titik ke lain titik, dari satu
hati ke lain hati. Rite, eh?
Ya... semoga
di birthday trip selanjutnya, gue
bisa ke tujuan wisata lainnya (sekilas info: asli, gue kebelet banget sama
Trowulan!) ....dengan atau bareng sama gandengan. Commuter-line kali, gandengan.
Yaudah deh, Lasbeg’s
Diary the Series...
Sekian!
............
1 komentar:
31 July 2017 at 09:00
Permalink this comment
http://rindra.blog.dinus.ac.id/2016/09/01/alat-tanam-benih-jagung-dengan-tuas-pengungkit-dan-mekanik-pembuat-lubang/
http://anakadarningsih.blog.dinus.ac.id/2016/06/24/dosen-blogger/
http://ennyvisioner.blog.dinus.ac.id/2016/06/24/workshop-penyusunan-proposal-penelitian-dikti/
http://youseewhy.blog.dinus.ac.id/2016/09/14/mata-kuliah-sistem-informasi-akuntansi/
rekomendasi artikel terbaik 2017