Eh, hello there, fellas!
Ah, kayak punya temen aja, Dwik.
Udah sekitar satu bulan blog ini tidak diisi dengan tulisan-tulisan ambigu. Malahan, belakangan situs terlarang ini justru dipenuhi gambar-gambar annoying yang dibuat sebagai media show-off oleh gue, pemuda trendi paling masa kini. Eh, sori kalo bahasa gue mendadak kayak gini.
Belakangan, siklus hidup gue nggak jauh-jauh dari fashion. Bukan, bukan. Bukannya gue berencana banting panutan dari Prof Gunawan menjadi Ivan Gunawan. Semester ini, gue lagi disibukkan sama Perancangan 3 atau yang biasa kita singkat dengan PE’A, yang berbasis fashion dan meminjamnya sebagai metode buat merancang public space di kawasan Kemang.
Di suatu weekend, gue, Ichan, Ryan, Nene, Mela, dan anak-anak PE’A lainnya asyik menyisir romantisme Kemang Raya di malam hari. Pas lagi sibuk ngerekam, gue dan Mela pun membahas soal Jalan Jalan Men yang menurut kami kurang realistis, mulai dari kemainstreaman objek wisata sampe akomodasi seringkali nggak bersahabat sama kantong.
Mengulang kesuksesan “Lasbegs Diary” yang memenangkan juara tapi cuma hiburan pada kontes NekadBlog dari Telkomsel dan bahkan sampe sekarang belom dikasih hadiahnya, gue pun berpikiran untuk membuat rubrik khusus jalan-jalan sendiri. Maka, di postingan kali ini, gue akan mengganjar dosa-dosa kelamaan nggak nulis dengan sebuah kisah heroik gue dan kawan-kawan saat meninggalkan studio demi sebuah kota bernama... Surakarta.
Oh iya, silakan bacanya sambil mendengarkan Setapak Sriwedari sekarang juga.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
Hampir satu bulan yang lalu, gue, Ramandhika, Adele, Isnat, Gita, dan Aka berinisiatif untuk pergi ke sebuah konferensi ilmiah mahasiswa arsitektur se-Indonesia yang diadakan di Solo alias Surakarta. Sebut saja TKIM*I. Untuk menuju ke sana, kami perginya nggak sama-sama. Gita udah lebih dulu berangkat ke Jogja, Adele dan Paman Dhika berangkat naik kereta malam, sedangkan, Gue-Isnat-Shirly-Aka terpaksa naik bus dengan rombongan dari regional Jakarta.
Perjalanan lewat darat nggak semulus biasanya. Dari rencana berangkat jam enam sore, kami baru berangkat dari meeting point jam sembilan malam. Ditambah dengan dua bus kelas ekonomi ber-AC dingin dan musik yang mengalun, akhirnya, setelah transit berapa kali, busnya mogok di Semarang, dua jam nungguin bus pengganti, hingga menemukan warung makan absurd yang seporsi nasi bungkus dan ayam goreng lebih mahal dari panas medium-nya McD, jam satu siang kami akhirnya kami tiba di tujuan. Sebut saja kampus UNS.
UUU-NNN-SSS! |
Sekitar jam tiga, gue,Isnat, dan Aka pun bertemu dengan team Dhika, Adele, dan Gita. Oh iya, Shirly berangkat dengan bus yang berbeda dengan kami bertiga. Bus yang dinaikinya lebih menyedihkan. Mereka baru touchdown di jam setengah tujuh malam. Setelah delegasi UI ngumpul semua, kami baru tahu kalo peserta konferensi tersebut diinapkan bukan di kota Solo, melainkan somewhere di Tawangmangu—semacam Puncak-nya Bogor, tapi adanya di kaki Gunung Lawu. Karena firasat kami nggak enak, kami pun memilih buat merencanakan sebuah alibi nakal yang tidak layak ditiru.
“Sori nih, kayaknya rombongan UI nggak bisa ikut naik ke Tawangmangu. Barusan kita disuruh nginep dulu di rumah eyang gitu.”
Malam itu, mendadak kami memiliki eyang baru di Kota Solo.
Namanya Eyang a-Tune.
Foto Dulu lah. Da Crew: TKIMAI-FREESTYLE. |
Hari Pertama
Kami membagi SDM ke dalam beberapa rangkaian acara. Gita bertugas ikut jaga stand di Pameran, Isnat kedapetan buat mengikuti acara pengabdian masyarakat, Shirly, Aka, Adele dan Dhika ikut Forkom di Tawangmangu sana, sedangkan gue sendiri mengikuti diskusi ilmiah yang diadakan di kampus UNS.
Firasat kami bertujuh benar. Pas ngobrol sama anak-anak daerah lain yang bermalam di Tawangmangu, mereka langsung melimpahkan unek-unek dan curahan hatinya. Katanya, kamar di penginapan mereka jumlahnya kurang gara-gara peserta yang overquota. Alhasil, tiga kamar berukuran 4x3 meter yang dialokasikan buat anak-anak cewek harus diisi sampai 15 orang. Yang cowok lebih naas lagi. Karena kamar yang tersedia nggak cukup buat nampung seluruh peserta, mereka pun terpaksa tidur sampe gelar-gelar tikar di atas paving block. Gue gagal paham. Itu penginapan apa boks serabi notosuman?
Diskil. Diskusinya lepas alas sikil. |
Anak BPR 1. Katanya, katanya. |
Setelah diskil yang diikuti peserta dengan berbagai logat dari yang medhok hingga sumber-air-sodekat, kami pun digantung sama panitia selama berjam-jam. Ternyata, kami semua lagi nungguin bus yang bakal nganterin ke Tawangmangu sana. Gila, gila. Jangan sampe gue terjebak dan menjadi kornet pronas bersama anak-anak lainnya. Gue harus kembali ke Eyang a-Tune dan melarikan diri sekarang juga.
Berbekal izin mau salat ashar, abis dari Maskam, gue beranjak ke gerbang belakang kampus buat mencegat taksi, kemudian nyusul pameran yang diadakan di Paragon Mal. Di Solo, mencari kendaraan kayak bus, angkot, apalagi bajaj bukanlah hal yang mudah. Jam enam adalah jam-jam terakhir beroperasinya mereka, sehingga, mau nggak mau, taksi menjadi andalan wisatawan yang kepingin jalan-jalan. Sambil menikmati cilok bandung, gue pun nungguin taksi yang tak kunjung lewat.
Tiba-tiba, di seberang jalan melintas sebuah taksi yang lampunya menandakan kalo dirinya available buat dinaiki. Gue mengangkat tangan ke depan sambil beberapa kali lambaikan. Kacanya terbuka!
“Pak, ke Paragon ya? Muter.”
“Sebentar mas, lagi dipesen sama orang!” Taksi itu berjalan lagi, meninggalkan gue sendiri.
Nggak lama, dari arah sebaliknya, sebuah taksi melipir ke bahu jalan menghampiri gue yang udah mulai dilalerin. Ternyata, itu bapak yang tadi.
“Mas, mas’e mau ke Paragon, tho? Ikut aja wis. Satu arah kok, mas.”
Gue celingukan.
Akhirnya gue menaiki taksi yang berisi dua penumpang itu. Taksi kembali berjalan.
Gue duduk di seat belakang sebelah kanan, sedangkan penumpangnya duduk di sebelah kiri dan di bangku depan. Pas gue lihat, gue langsung dilanda kepanikan. Mas-mas yang duduk di bangku depan tampangnya kayak berandalan. Begitu pula di sebelah gue. Doi telpon-telponan dengan nokia jadul miliknya yang dikeluarmasukkan dari jaket kulit dekilnya.
Untuk menenangkan diri, gue berusaha melihat kondisi fisik dari taksi yang gue naiki. Bagian atapnya agak lapuk. Terlihat vegetasi lumut yang tumbuh dengan subur. Gue juga nggak menemukan identitas pengemudi yang biasa ditempel di bagian dashboard.
Mamah, mau nangis................
“Mas-e dari mana? Ini saya mau ngedrop ke pool bus dulu, ngejar bus ke Bali, mas. Nanti mas-e tak anterin ke Paragon.” Supir taksi itu memulai chit-chat dengan gue, sambil menanyakan asal gue dari mana.
Gue sih ngakunya dari Semarang. Takutnya, kalo bilang dari Jakarta, gue langsung ditodong piso dari belakang sama mas-mas yang duduk di sebelah gue.
Taksi terus berjalan, ngebut-ngebutan. Gue langsung meng-whatsapp-kan kondisi terkini gue pada anak-anak lainnya sembari browsing nomor telepon Polres Surakarta. Berbagai ide muncul di benak gue, misalnya memilih turun di Stasiun Balapan yang letaknya nggak terlalu jauh, memohon melipir karena kebelet pipis, atau membuka kaca sambil menjerit gara-gara mau diperkosa.
Sebagai pertolongan pertama dalam menenangkan diri, gue malah memilih untuk self portrait dengan kamera belakang hape gue sendiri supaya momen ini bisa diabadikan.
Ya Tuhan.............
Waktu Lagi Nunggu Taksi |
Pas di Dalam Taksi |
Akhirnya dengan Selamat Nyampe Sini :" |
Abis nurunin kedua mas-mas tadi, bapak itu langsung mengantarkan gue ke tempat tujuan, lengkap dengan gaya supir taksi a la Jawa yang sok supel seperti kebanyakan. Gue nggak henti-hentinya bersyukur begitu mendarat dengan selamat di pelataran Mal Paragon.
Ternyata, masih banyak orang jujur yang dianugerahkan Yang Mahakuasa pada Surakarta.
Di sana, gue langsung pergi ke lokasi pameran yang berlangsung di lobby. Pada pameran kali ini, setiap kampus dari belasan rayon se-Indonesia bersaing menunjukkan hasil karyanya masing-masing, termasuk UI yang yang masuk ke dalam wilayah 1. Stand kami bersebelahan dengan rayon Bandung, yang nampaknya udah mempersiapkan display mereka dengan matang.
Untuk menghadirkan suasana Bandung di dalam mal, mereka lantas memajang foto, sketsa, maket Gedung Merdeka, bahkan membuat partisi benang seolah-olah itu adalah Jembatan Pasopati, landmark Bandung yang tengah ngehits belakangan ini. Gimana sama anak Jakarta? Ah, hidup kami terlalu freestyle buat mikirin display yang outstanding sedemikian rupa. Bahkan, kami baru bikin dekorasi sambil motong-motong kardus di atas lantai marmer mal paling hi-class sekaresidenan Surakarta pas hari-H.
Ah, namanya juga rayon freestyle. Ngapain direncanakan kalo bisa suka-suka?
Ehe, silakan dinikmati foto-fotonya!
Bandung Punya |
Stand Jakarta. Ya...gitudeh. |
Setelah hari pertama berakhir, Gue, Isnat, dan Gita kembali ke hotel, AH SALAH. Eyang a-Tune maksudnya.
Memilih kediaman Eyang a-Tune sepertinya emang pilihan yang tepat. Selain bisa tidur nyenyak, mandi air panas, serta beristirahat dengan tenang, bahagianya lagi, kami mendapatkan potongan harga yang fantastis. Dari paket sekamar yang harusnya 1,5-an, kami hanya perlu membayar 160 ribuan/nett doang. Itu udah termasuk fasilitas tambahan AC, teve kabel, dan internet 24 jam yang bisa dinikmati secara gratis. Itulah mengapa kami enggan beranjak ke barak Tawangmangu seperti yang lainnya.
Singkat cerita, waktu kami bertiga leha-leha dengan tugas masing-masing di kamar Eyang, kami mendapat kabar buruk kalo mereka yang ikut Forkom ke Tawangmangu terjebak nggak bisa balik ke rumah Eyang gara-gara nggak ada kendaraan. Segala ikhtiar pun mereka lakukan, hingga akhirnya keempat rekan anak Forkom tersebut patungan sama temen-temen Untar buat mencarter sebuah mobil supaya bisa turun kembali ke Solo. Dengan peluh, perjuangan, sampe cerita mogok di hutan antah berantah di tengah jalan, jam dua belas malam mereka tiba dan langsung check in di rumah Eyang.
Hari pertama kerandoman konferensi pun resmi kami lalui bersama-sama.
BER.SAM.BUNG.
***
0 komentar: