HAI.
Ini adalah postingan ketujuhbelas yang gue buat di tahun
ini. Baiklah.
Sebelum gue melanjutkan bagaimana ke-freestyle-an tujuh
mahasiswa asal Depok yang berkesempatan untuk jalan-jalan di Kota Solo,
izinkanlah gue untuk melakukan prosesi curhat barang satu-tiga kalimat terlebih
dahulu. Ehm...
PRESENTASI INTERNAL STUDIO PA INTERIOR KELAR, WOY!!! ASADADADAQUWDUBWWADHUADDUBDWUDBWXBWXBUCCWAUKYAAAAAAKYAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!
Benar sekali. Mata kuliah bernama Perancangan yang cukup membelenggu
lahir batin dengan bobot sembilan SKS di semester ini sebentar lagi akan berakhir.
Selasa kemarin, para interiorita semester lima telah mempresentasikan kepada
reviewer mengenai ruang publik yang didesain masing-masing anak di kawasan
Kemang, Jakarta Selatan. Karena pendekatan yang dipilih oleh tim dosen adalah metode
fashion, maka, jangan heran kalo studio interior belakangan diramaikan dengan
kain, baju, dan penampilan sok fashionable di mana-mana. Bahkan, di kelompok
...katakanlah kelompok Jalur Gaza, setiap anak diwajibkan memajang manekin yang
didandani pakaian-pakaian tertentu layaknya Pojok Busana.
Oh iya, biar membacanya lebih asyik lagi, izinkanlah gue untuk
memajang foto yang mahaganteng ini.
Oke, oke. Gue mohon jangan tinggalkan tulisan
ini.
Langsung saja, saudara-saudara. Pada tanggal langka yang mahacantik
yangcantiknyakalahcantikdibandingkankecantikankamu ini, gue akan
melanjutkan lagi tulisan gue yang
kemarin. This is it. SOLO YOLO jilid dua!
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
***
Lewat tengah malam, satu per satu dari kami berguguran untuk
tidur duluan.
Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, yang masih terjaga
sampai detik ini tinggal gue, Dhika, dan Adele yang sedang melanjutkan tugas
PA-nya sambil mendengarkan lagu-lagu Maliq.
Dengan tingkat kesadaran yang tinggal sisa-sisaan itu, kami
bertiga ngobrol ngalor ngidul soal musikalitas Maliq and d'Essentials. Usut
punya usut, ternyata kami punya lagu Maliq sebagai bahan galauan masing-masing:
Adele dengan Luluh, Dhika dengan Penasaran, dan gue... sudah pasti dengan
Untitled.
Obrolan kami pun berlanjut dengan nyanyi-nyanyi bareng.
“Ah, plis, jangan nyetel Untitled, dong. Yang lain aja” Gue
komplain saat Adele ingin memutarkan lagu yang seharusnya dilaporkan ke Komnas
HAM tersebut. Layaknya prambors, mereka justru memainkan hits terbaik dunia
yang tidak berjudul itu.
Anjir. Gue dizalimi. Gue galau beneran.
“Yaudah deh, gue request lagi abis ini. Naif yang di mana
aku di sini.”
Mereka tertawa puas. Sementara, gue menyerah guling-gulingan
sambil menyanyikan liriknya, lirih.
***
Pagi-pagi setelah sesi galau semalam diawali dengan
kengabluan massal.
Jam delapan, kami bertujuh yang tidurnya kayak pepes ikan
cuwek dalam satu keranjang dibangunkan oleh suara ketukan yang keras dari luar
kamar. Karena gue yang tidurnya paling deket sama pintu, alhasil gue yang masih
setengah terpejam tergugah untuk menemui siapakah orang yang resek membangunkan
kami pagi-pagi.
Waktu terbuka setengah, nampak seorang anak Untar dengan
ekspresi kaget misterius saat melihat gue dari balik pintu, sambil
menginterogasi gue “Loh kok malah elu yang keluar? Temen gue mana?!”
Gue kebingungan, masih ngantuk sambil terus memegang kepala.
Sementara, anak itu masih mencurigai gue dengan ekspresi seolah mengatakan “Lo
apakan temen-temen gue?! Balikin temen-temen gue!!!”
Tanpa banyak menjelaskan, gue langsung membuka pintu kamar selebar-lebarnya. Terlihatlah perilaku anak-anak UI yang pose tidurnya mahaliar. Anak Untar tadi baru sadar kalo dia salah ngetok kamar.
Terjadi hening yang cukup panjang.
Nah, setelah nyawa kami semua terkumpul dan baru menertawakan kejadian yang udah dua jam lebih berlalu itu, kami berencana untuk cabut dari acara. Selain Shirly dan Isnat, rencananya, kami berlima bakal mengelilingi Solo dan meninggalkan konferensi dengan pertimbangan nasehat Eyang: “barangsiapa yang sudah terjebak pergi ke Tawangmangu, niscaya akan susah untuk kembali.”
Sekitar jam sepuluh, kami meninggalkan hotel, rumah Eyang A-Tune. Sebagai orang yang paham dengan tempat-tempat di Solo, Gita pun memandu jalannya tur kami berlima.
Oke. Pemberhentian pertama adalah warung timlo yang ada di kawasan.... ah, lupa. Pokoknya letaknya dekat pasar tradisional gitu. Dengan taksi avanza, kami menyambangi lokasi yang pernah didatangi Bondan Winarno itu.
Meski gue Jawa tulen, pengetahuan gue soal kuliner bernama timlo amat kurang. Satu yang gue tahu, timlo adalah grup musik parodi yang vokalisnya ada yang botak, gondrong, dan bergigi maju. Saat itu, gue pun baru tahu kalo ternyata timlo adalah sejenis sop berkaldu. Bedanya, isiannya timlo itu semacam daging-daging rebusan, ati ampela, dan nggak ada sayur-sayur pelengkapnya.
Meski gue tak berinstagram, #hashtag tetap jalan. |
Entah karena harganya yang cukup mahal atau porsinya yang kebanyakan, gue merasa agak kurang selera saat mencicipinya. Rasanya agak hambar, kayak ada yang kurang pas, tapi nggak tahu kenapa. Apa kamu mau membuat hidupku lebih berbumbu dibanding timlo itu?
Ini apa.....
***
Setelah mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan wisata ke
Puri Mangkunegaran. Dengan biaya masuk sekitar sepuluh ribu per orang, kami
berlima mengelilingi kompleks keraton tersebut sambil diperlihatkan benda-benda
yang menjadi koleksi keraton, mulai dari gamelan, keris, perhiasan, hingga
cangkir-cangkir yang dipake saat perjamuan. Supaya nggak kebingungan dan
sotoy-sotoy sendiri, perjalanan kami dipandu oleh seorang tour guide yang
menjelaskan dengan dialek British-Surakarta. Ah sudahlah, supaya nggak kebanyakan
bacot, biarkan foto-foto ini yang berbicara sendiri.
Tampilan Depan Pendopo |
Ambil poto dikit bisa keleus |
Nah, mungkin ini yang dimaksud oleh rumah-rumah Pondok Indah sebagai gaya klasik-eklektik-religius |
Pendopo ditopang oleh empat sokoguru (kolom utama) |
Motif batik megamendung dengan delapan warna berbeda, kabarnya melambangkan kesialan/ bala yang harus ditolak masuk ke dalam keraton |
Langit-langit dibuat dari bahan cermin. Apa daya, namanya juga manusia... |
Call us with Anton- Anak keraton. |
Gamelan yang disimpan di pendopo. Konon, kalo gamelannya dipindah, suaranya akan . Fals. Hih. |
Mumpung masih di Solo, petualangan kami berlanjut ke
destinasi berikutnya, yaitu kawasan Dalem Kalitan alias kediaman mantan ibu
negara, Almarhumah Tien Soeharto. Kami cuma jalan-jalan sebentar di sana. Prinsipnya,
yang penting sesi poto-potonya. Kedeh, setuju deh sama kamu.
di pelataran
|
“Dhik! Dwik! Liat, taman Sriwedari!” katanya ketawa-tawa
sambil menunjuk sebidang taman kecil dengan plank bertuliskan Kelurahan
Sriwedari.
“Oh gue tahu!” Dhika pun berloncatan dengan anggun menuju
petak taman tersebut.
“Lo ngapain dah, Pak?”
“Gue lagi jalan setapak di Sriwedari”
Ke-freestyle-an kami berlanjut hingga perut terasa lapar lagi.
Kami memutuskan untuk mencegat taksi yang menculik kami menuju tempat penjualan
Serabi Notosuman dan salah satu spot kuliner lainnya yang paling fenomenal di
kota ini. Selat Solo.
Bukan, bukan. Selat yang gue maksud bukanlah lautan sempit
yang memisahkan dua pulau a la pelajaran geografi. Yang gue maksud dengan selat
solo adalah makanan peranakan kolonial yang rasanya persis steak, tapi bumbunya
manis.
Warung selat solo yang kami tuju adalah Warung Mbak Lies yang letaknya bukan di pinggir jalan, melainkan di pelosok dalam suatu gang perkampungan. Sesampainya di sana, gue langsung ternganga-nganga sama kualitas ruang yang dimiliki tempat tersebut.
Tempat itu tampak sederhana. Hiasan kerang-kerang menjuntai di bagian pintu masuk sehingga terdengar gemerincing tiap tertiup angin. Kondisi di area makannya pun sama pewe-nya. Dinding-dinding warung tersebut ditempeli oleh piring-piring hias yang bertuliskan tanda tangan para publik figur yang pernah mengunjungi tempat tersebut. Rasanya damai sekali.
bayangkan kalian makan di tempat ini, bayangkan! |
Pertanyaannya. Apakah piring ini dielap setiap harinya? |
Singkat cerita, kami disuguhkan oleh beberapa menu yang bisa dipilih dengan harga berkisar dua belas ribuan saja. Ada selat solo, selat huzar (Huzaren sla), bistik lidah, juga galantin. Gue memilih memesan galantin, sejenis daging kukus yang dihaluskan dan digulung menyerupai lontong.
Tak lama, makanan yang kami pesan pun datang. Sepotong daging sapi terlihat segar dengan garnish yang dibuat dengan sepenuh hati. Buktinya, telor rebus yang ditambahkan sebagai pelengkap makanan itu pun dicetak sedemikian rupa hingga berbentuk kembang. Gue terpukau dengan apa yang mereka sajikan di atas piring makan.
Yang bulet di samping kembang telor bukan perkedel. Itu galantin. |
Pertanyaannya adalah: bagaimana cara membuatnya? |
Begitu gue menjejalkan suapan pertama, gue terdiam sekian detik. Pas gue menoleh ke arah Dhika, ternyata doi merasakan hal yang sama. Asli. Warung Mbak Lies berhasil menciptakan hattrick dalam menyenangkan kami semua. Terlepas dari saos mayones yang rasanya aneh, warung tersebut membuat suatu perasaan surgawi yang minta diulang terus menerus, lagi dan lagi.
Asiq.
***
Sekitar jam tiga, kami mengakhiri wisata budaya dan
makan-makan dan memutuskan untuk kembali ke hotel karena gue, Isnat, dan Aka
harus melanjutkan perjalanan freestyle ke Semarang. Soalnya, Aka udah bikin
janji mewawancarai Didik Ninik Thowok buat bahan perancangan ruang kreatif
seniman di tugas PA 1-nya.
Kisah cantik tiga hari dua malam kami resmi ditutup dengan
sebuah foto bersama di lobi rumah Eyang. Besoknya, kami kembali ke Depok dari
jalur yang berbeda-beda, bahagia, terlelap bersama tugas Perancangan
selama-lamanya.
Kali pertama, luntang lantung di pantura, bikin maket di mal
paling elite di sana, nyaris diculik dan pulang tinggal nama, perjalanan para
delegasi UI kemarin emang terlalu random dan nggak cukup hanya dituliskan
dengan kata-kata. Intinya, Solo telah menciptakan banyak pengalaman, genius
loci tersendiri bagi siapa saja yang mengunjunginya.
Closing statement dari saya, semoga di tahun depan status
hidup baik penulis blog ini maupun pembacanya tidak lagi solo.
Amin.
0 komentar: