Halo.
Plis. Izinkan gue untuk berteriak sekali lagi.
ANJIRGUYSSSSSSEMESTERLIMAUDAHKELARWOYYYYYYYYGILASERIUSDEMIAPALOHHHTINGGALDESREPDOANGHAHDEMIAPAHAHDEMIAPAHHHHHHH?!
Yoman. Kali ini gue datang dengan sebuah kabar baik dan
sebuah kabar buruk.
Kabar baiknya, setelah presentasi eksternal mata kuliah Desfur
yang bikin kurang tidur kemarin telah dilalui dengan cantiknya yang lebih
cantikan kamu itu, secara resmi semester lima para interiorita telah selesai.
Eh, tinggal menyisakan sebuah desrep atau design report yang harus dikumpulkan
hari Selasa aja maksudnya.
Kabar buruknya, rekor gue yang belum bleeding di semester
ini pun pecah gara-gara desain furnitur. Bukan dengan cutter. Lebih parah. Gue
dizalimi oleh gunting kawat. Menyedihkan.
Oke. Pada postingan kali ini, lagi-lagi gue bakal men-share
catatan perjalanan yang baru aja dilakukan awal Desember kemarin.
Di tahun ketiga yang hectic, gue menyempatkan untuk pergi
jauh-jauh dari Depok selama akhir pekan, bahkan hingga dua kali. Pertama, menghadiri
TKIMAI di Solo, kedua, Gathering Sobatbumi Pertamina Foundation Scholarship
angkatan 3 di Gunung Pancar.
Iya. Di awal semester lima ini, gue mendapatkan kabar baik
bahwa gue terpilih menjadi satu dari sepuluh orang penerima beasiswa Sobat Bumi
PFS 3 dari UI. Nah, di awal Desember, Pertamina Foundation pun mengadakan gathering
akbar yang mengundang seluruh penerima beasiswa se-Indonesia. Iya buat hepi-hepi
bersama di Hutan Wisata Gunung Pancar, sekitar tujuh kilometer dari Sentul City,
Bogor, Jawa Barat.
Se-Indonesia, men. Se-Indonesia.
Setelah membaca rundown dan mendengar acara itu dihadiri mahasiswa-mahasiswa
lain dari berbagai kampus antarkota antarprovinsi, gue pun menjadi sangat
antusias untuk mengikutinya.
Sangat-sangat antusias.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
***
Kampus. Hari Pertama.
Abis salat Jumat, gue dan anak-anak Sobatbumi 3 UI merencanakan
buat kumpul-kumpul di MUI dan berangkat naik bikun bareng anak-anak Sobatbumi Jakarta
yang berasal dari UNJ, Untar, President, dan lain-lain. Ah, sebelum kamu
menge-stalk tulisanku, silakan tonton video paling ganteng sepanjang masa ini!
Soal pendidikan, Pertamina emang loyal banget. Selain
memberikan beasiswa ke dua puluh kampus negeri di Indonesia, beasiswa ini juga
ditujukan buat mahasiswa lain dari kampus swasta. Hasilnya, di tahun ketiganya
ini, Pertamina Foundation berhasil menyaring kurang lebih 500 penerima
beasiswa.
Namanya juga diadain sama Pertamina, ya... you know lah.
Jujur, yang berada di benak kepala gue dan bocah-bocah PFS 3 UI lainnya adalah
acara ini bakal mewah, eksklusif, nginep di hotel, dan lain sebagainya. Visualisasi
itu langsung buyar ketika Kak Monic, penerima PFS 2 melaporkan via whatsapp
kalo ternyata gathering ini nginepnya di hutan belantara.
Gue lupa kalo di belakang embel-embel “Pertamina Foundation
Scholarship” ada kata-kata “Sobatbumi”-nya.
Setelah nyasar, melewati jalanan pedesaan yang nggak
manusiawi buat dilalui bikun berukuran 3/4, dan nyaris dicelakakan sopir bikun
yang kesel karena salah satu dari kami nggak ada yang tahu jalan, akhirnya kami
tiba di Hutan Wisata Gunung Pancar untuk menjalani leadership camp selama tiga
hari tiga malam.
Sesampainya di sana, gue langsung menjerit dan
ternganga-nganga. Asli. Sepanjang mata memandang, yang bisa gue lihat hanya
barisan pohon pinus yang menjulang tinggi di atas kontur lahan yang terjal. Bagi
gue anak kota yang jarang berwisata alam, Gunung Pancar emang pecah banget
pemandangannya.
Abis registrasi dan mengambil jaket, seragam, dan sleeping
bag, kami pun melipir ke tenda aula buat mengikuti upacara pembukaan. Di sana,
kami dipertemukan dengan anak-anak PFS 3 dari regional lainnya, seperti Aceh,
Medan, Padang, Makassar, bahkan Papua.
Dan... Apa yang dibilang Kak Monic menjadi kenyataan. Abis
upacara pembukaan kelar, kami dibagi ke tiga lokasi penginapan yang masing-masing
dibagi jadi tujuh pleton. Iya. Penginapan.
Penginapan tenda tentara yang besarnya naujubilah.
Nggak cuma itu. Untuk mencapai camp, gue dan temen-temen
harus menyusuri hutan pinus selama sepuluh menit. Literally sepuluh menit. Terjal,
licin, gelap, tanpa penerangan tambahan selain senter yang kami bawa
masing-masing.
Supaya suasana kempingnya makin berasa, saat mandi maupun
makan, kami pun harus bersikap seperti barak militer. Ngantre.
Buat mandi atau mau BAB, kita nggak bisa berlama-lama
atau asyik dengan tangan sendiri (?). Di
tengah hutan tempat peserta kemping yang banyak jumlahnya itu cuma tersedia kurang
dari empat puluh bilik kamar mandi. Begitu pula pas jam makan. Untuk menciduk
nasi dan lauk pauknya, kami kudu baris kayak di pengungsian terlebih dahulu,
dengan nampan besi yang harus dicuci sendiri setelah digunakan.
Bukannya ngeluh, gue malah bereuforia dan makin
kesenengan.
Memasuki malam hari, kami mengikuti acara materi pertama
dengan Abah Rama, owner situs temubakat.com yang memfasilitasi kita buat
membaca seperti apa potensi yang kita miliki lewat ratusan soal kuisioner yang harus
diisi secara online satu minggu sebelum gathering tiba. Singkat cerita, hasil
dari tes gue menyatakan kalo kemampuan gue ada di sektor linguistik dan otak
kanan.
Padahal, gue kira selama berada di ini arsitektur adalah bentuk
takdir yang salah jalan.
***
Gunung Pancar. Hari Kedua.
Gue terbangun dengan kegerahan karena tidur layaknya ulat
bulu yang sedang dalam proses metamorfosis. Iya, meski berada di lembah, bagi
gue, Gunung Pancar nggak sedingin yang ada di ekspektasi gue. Bahkan, IMHO, sama
Jatinangor pun, Gunung Pancar nggak ada apa-apanya.
Setelah nyawa gue terkumpul seluruhnya, gue pun bergegas
buat bergerak ke kamar mandi untuk sekadar ngambil air wudhu. Seketika gue langsung
mencabut perkataan gue sebelumnya.
Anjir. Airnya kayak curug di kaki pegunungan Himalaya.
Abis solat, kami pun mengadakan senam kecil-kecilan sebelum
akhirnya sarapan dan bersihin badan. Menurut rundown, acara kami pagi ini bakal
padat dengan pemberian materi yang terbagi ke empat sesi, di antaranya soal efisiensi
waktu, metode komunikasi, pokoknya segala macem yang berbau self-improvement,
yang menjadikan kami sebagai pemimpin masa depan yang cinta lingkungan. Asiq.
Sobatbumi UI 2+3 |
Sepanjang acara ini, gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan buat nambah kenalan dari kampus lainnya. Berbekal “hai namanya siapa”, atau, “mas, kamar mandinya antre ya?” gue pun kenalan sama anak-anak scholars lainnya, dari Bandung, Jogja, Medan, Semarang, Surabaya, Palembang, bahkan Samarinda.
Sesi materi sepanjang hari pun ditutup dengan cantik lewat
sharing session kewirausahaan oleh Bapak Rhenald Kasali, ekonom sekaligus
pengajar FEUI yang lagi getol-getolnya menyuarakan perubahan di kalangan
anak-anak muda. Saat itu pun gue langsung tegugah, ingin cepat-cepat lulus
kuliah supaya bisa mewujudkan impian lanjutin magister ke Jerman.
Sayangnya, abis ngobrol-ngobrol cantik di dalam tenda, gue jadi
lupa isi materinya apa.
Ya... Namanya juga mahasiswa.
***
Masih Nggak Punya Pa(n)car. Hari Ketiga.
Di hari terakhir ini, kami mengikuti kegiatan team building
yang dilakukan di lapangan. Ya, ...semacam outbound gitu deh. Gue yang sebelas
dua belas sama Teuku Wisnu ini tergabung dalam kelompok delapan, bareng Melia
FKG UI, Wisda UGM, Angga Unair, Sam UNDIP, Agnes UNPAD, Rahmat PresUniv, dan...
pokoknya banyak, lah... *padahal nggak sempet kenalan*
Pada acara ini, kami dilatih kekompakannya untuk
menyelesaikan tiap tantangan dengan otak, otot, dan strategi, di antaranya
bikin susunan gelas aqua berisi air hingga delapan tingkat, game buaya-buayaan,
dan masih banyak lagi. Pokoknya peace, love, and gaul. Berikut cuplikannya.
coba, aku yang mana...
Nah, setelah team building kelar, kami pun beranjak ke acara
puncak gathering ini. Iya, project angkatan. Jadi, selama tiga puluh menit,
kami, anak-anak PFS 3 ditantang untuk membuat sebuah menara setinggi tujuh
meter sebagai altar buat pengibaran bendera merah putih, bendera pertamina, dan
bendera sobatbumi. Nantinya setelah menara itu berdiri, kami bakal mengikrarkan
Deklarasi Sobat Bumi PFS 3 setelah melakukan upacara bendera.
Di menit-menit awal, kondisi kami rusuhnya tidak keruan.
Beberapa kelompok mengangkat bambu-bambu yang disediakan panitia untuk
membangun menara tadi. Temen-temen dari Papua langsung memanjat dengan sigap
sambil memberi aba-aba. Sedangkan, beberapa di antaranya justru sibuk buat
selfie-selfie sendiri.
Di tengah hiruk pikuk itu, seorang mbak-mbak PFS 3 Unpad dengan
mikrofon di tangannya pun berteriak mencari bala bantuan anak desain untuk
menggambar bendera pertamina dan bendera sobat bumi. Sambil berjalan gagah
layaknya Gatotkaca, gue pun mendatangi sumber suara dan langsung menyanggupi
tugas yang harus dilakukan. Kya, pahlawan datang!
Jangan lihat-lihat! Emangnya aku Kak Wondo?!
Jadi tahu bagaimana perasaan Fatmawati dulu... |
Iya. Dengan gaya arsir sok asik kayak Francis D.K. Ching, secara
jantan gue pun mencoba menyelesaikan dua buah bendera sambil tebar pesona di
antara scholars wanita. Najis banget emang kedengerannya.
Singkat cerita, menara yang ditantang pun selesai. Setiap
PFS berbagai angkatan langsung berbaris dan bergegas memulai acara tersebut.
Jujur. Saat menyanyikan Indonesia Raya dan lagu Tanah Airku, mata gue
berkaca-kaca. Yang cengeng bukan cuma gue. Para petinggi Pertamina Foundation
pun tampak hormat ke bendera merah putih sambil sesekali menyeka air mata
mereka.
Mas, miring itu mas. Otaknya mas. |
Bagaimana Perasaan Bapak setelah menggambar, Pak? |
Harun, Sistia, Miranda, Melia, Yunika, Annisa Cherrybelle, Evi, Hani, Firna, Mike Lewis. |
Nambah Nando |
Menurut gue, bisa ngumpul, nge-camp, dan upacara bendera
bareng mahasiswa se-Indonesia adalah keajaiban yang paling jarang terjadi dalam
kehidupan seorang Rizki Dwika. Berbagai keunikan, dialek, dan local wisdom yang
dibawa oleh masing-masing regional berhasil membuat gue bangga, sebuah nasionalisme
bangsa bernama Indonesia.
Salah satu part yang kocak adalah temen-temen dari Papua. Sesaat
setelah pemberian materi dari Pak Rhenald Kasali, tiba-tiba, rombongan Uncen
dan Unipa berdiri serentak dari tempat duduknya. Mas-mas MC yang rasis itu pun
langsung tercenung heran dan menyapa mereka, “He teman-teman dari timur, kalian
mau ke mana?”
“He kami mau pergi tidur, sudah malam, sudah jam satu.”
Para scholars lainnya yang masih duduk lesehan pun menjadi
hening sekitar lima detik untuk mengecek jam masing-masing, dan kemudian satu
aula langsung ketawa terbahak-bahak.
Gimana nggak. Ternyata, mereka lupa buat memundurkan waktu
di jamnya masing-masing sesuai dengan waktu Jakarta. Anjir. Hahaha.
Setelah upacara, malamnya kami mengadakan acara semacam
pentas seni yang diikuti oleh setiap regional dengan budayanya masing-masing. Ada
yang menggunakan kebaya, sanggul, baju minang, pakaian koteka, dan sejenisnya. Sebagai
kawasan yang paling “nggak punya budaya”, anak-anak Sobatbumi Jakarta pun akhirnya
cuma bernyanyi sambil mendeklamasikan puisi, yang dikemas dengan celetukan pantun
a la penonton-penonton bayaran YKS. Kthxbye.
Well, tiga hari tiga malam ini adalah momen termahal yang pernah gue lalui, di mana intelektual, nasionalisme, dan semangat cinta lingkungan ditanamkan ke para scholars dengan tanpa paksaan.
Sebuah tagline
unik yang diusung tahun ini adalah “Yang nggak peduli bumi silakan ngungsi”.
Iya. Kalo bukan kita, siapa lagi yang harus merawat bumi?
*tuing kacamata*
*beranjak pergi*
..................
0 komentar: