Hari ini saya memang sedang gerak cepat. Di lonely-birthday-trip-yang-tertunda ini, ceritanya
saya bakal bepergian ke Trowulan-Mojokerto, ibu kota Majapahit yang masuk ke
dalam salah satu destinasi yang saya nantikan setahun belakangan.
Wringin Lawang, Gerbang Masuk Ibu Kota Majapahit |
Jam 3.20 pagi, kereta Tumapel yang saya dan penglaju lainnya tumpangi mulai meninggalkan
Stasiun Besar Malang. Saya pun duduk di gerbong satu, memilih tempat di pinggir
jendela supaya bisa bersandar sambil mengisi baterai yang sudah berkurang.
Okupasi kereta yang saya naiki tidak terlalu padat. Kereta baru
mulai terasa penuh ketika berhenti di stasiun Blimbing dan Singosari. Ya, kereta
lokal seperti Tumapel dan Penataran adalah pilihan andalan bagi wisatawan,
pedagang, maupun penduduk setempat yang harus melakukan commuting Surabaya—Malang setiap harinya. Selain terbebas dari kemacetan
jalan raya, dengan naik kereta lokal, kita bisa melanjutkan tidur nyenyak sambil
menempuh jarak ratusan kilometer hanya dengan kocek empat hingga lima ribu rupiah
saja.
(Klik pada Judul Buat Kepo Lebih Lanjut!)
Wajah Kurang Tidur. Kesalahan Bukan Pada Gadget Anda. |
Pagi Buta di Stasiun Singosari, Kabupaten Malang |
Merapat di Stasiun Terminus Surabaya Kota |
Tiga jam berlalu, kereta saya tiba di stasiun terminus
Surabaya Kota, langsung menuju peron untuk membeli tiket go show pergi pulang kereta lokal Rapih Dhoho jurusan Mojokerto. Sembari
menunggu keberangkatan, saya bergegas meninggalkan Surabaya Kota, stasiun yang
juga dikenal dengan Stasiun Semut –karena stasiun ini dibangun di wilayah
Kampung Semut. Dengan berbekal GPS, saya pun memilih berkeliling Surabaya sekalian
mencari ganjalan buat mengisi perut.
Setelah melipir di Tugu Pahlawan dan sekitarnya sambil
hujan-hujanan, jam delapan kurang, saya kembali ke stasiun untuk mengganti sepatu
yang kebasahan. Ngomong-ngomong, Stasiun Semut adalah stasiun akhir yang paling
aneh yang pernah saya kunjungi. Dari fasadnya, stasiun ini lebih mirip ruko daripada
stasiun keberangkatan kereta antarkota. Setelah saya cari tahu, ternyata benar.
Bangunan bercita rasa Le Corbusier ini tadinya memang ruko yang difungsikan
menjadi stasiun sementara karena bangunan aslinya sedang mengalami pemugaran.
Ruko Berjendela Memanjang 'Corbu' yang Dindingnya Mulai Kusam. |
Akhir Jalur di Stasiun Surabaya Kota |
Hiburan Paling Langka: Orkes Dangdut Penghibur Gratisan |
Hari masih pagi, tetapi masyarakat yang ingin naik kereta
sudah cukup banyak. Diiringi organ tunggal yang menggema dari ruang tunggu
keberangkatan, Rapih Dhoho yang saya tumpangi pun mulai bergerak, pelan.
***
Perjalanan Surabaya—Mojokerto yang menghabiskan waktu satu
setengah jam saya habiskan dengan melihat sawah sambil menikmati sebungkus pecel
pincuk surabaya dengan lauk sate kelapa. Sesekali, saya ikut nimbrung dalam obrolan
santai dengan mas-mas dan ibu yang duduk di seberang.
“Mas, mas-e turun
mana?” Tanya mas-mas berseragam PNS yang di depan saya.
“Mojokerto” Jawab saya dibuat se-medhok medhoknya.
“Oh, sama kalo gitu. Asline
pundhi, Mas?”
“Semarang” Saya menyebutkan kampung halaman saya ketimbang
menjawab Jakarta.
Ya. Salah satu trik dalam berwisata jauh yang saya rekomendasikan
buat dicoba adalah mengaku berasal dari Jawa. Tapi, pastikan sebelumnya kalau
kita sedikit banyak paham percakapan dalam bahasa jawa, setidaknya buat
jaga-jaga.
“Oh iya. Nek saya mau ke Trowulan dari stasiun naik
apa ya, Mas?”
“Mas dari stasiun numpak
len ke Terminal, nanti oper len yang
liwat prapatan pendopo. Bisa juga numpak len jurusan Brangkal, nanti oper
lagi.”
Meski kurang paham len
itu apa, saya cuma mengangguk seadanya.
“Mas-e harusnya tadi turun Krian, lebih deket. Duduhono mengko mas numpak len-ne” Ibu
yang duduk di sebelah nimbrung menjawab, malahan menyuruh mas-mas itu mengantar
saya.
Hal berharga yang jarang saya temukan di Jawa adalah keramahan
orang-orangnya. Meski tidak saling kenal sebelumnya, dengan satu kali senyum, parapenumpang
bisa saling berinteraksi ngalor ngidul
sepanjang perjalanan. Sepertinya, fenomena mbak-mbak kantoran yang memilih
menggunakan headset sambil pura-pura
tidur dalam kereta hanya ada di Jabodetabek saja.
Setengah sepuluh, kereta Rapih Dhoho tiba di stasiun
Mojokerto. Saya diajak mas-mas tadi sampai ke luar stasiun, lalu berpisah di
halte. Ternyata, yang dari tadi disebut dengan len adalah angkot. Di kota sederhana yang minim bangunan hi-rise itu, len—aslinya line- adalah sebutan bagi rute angkot yang
menghubungkan seisi kota. Berbekal petuah mas dan sang ibu, saya pun naik line menuju Pertigaan Pasar Brangkal,
lalu dioper menuju Trowulan.
Begitu turun di perempatan Trowulan, saya langsung ditawari ojek
buat berkeliling kawasan. Dengan kemampuan menawar dalam bahasa Jawa, akhirnya kami sepakat di harga Rp75.000,00 untuk mendatangi
situs percandian satu per satu yang terpencar di antara ladang tebu dan
permukiman.
Sepanjang Jalan Menuju Percandian |
Situs yang pertama didatangi adalah Candi Tikus, dinamakan
begitu karena saat situs ini digali, banyak tikus yang keluar dari dalam tanah.
Dahulu, situs ini digunakan sebagai petirtaan maupun tempat para puteri raja
buat sekadar mandi. Kemudian, berturut-turut saya diantar menuju situs
percandian Bajang Ratu, Pendopo Agung, Museum Majapahit, Kolam Segaran, Candi
Minak Djinggo, Makam Putri Campa, Candi Brahu, hingga terakhir Gapura Wringin
Lawang. Berbekal teknologi bernama selfie,
saya pun mendokumentasikan perjalanan dalam sebuah kamera digital, baik secara
tangan maupun bantuan timer. Tunggu,
jangan tinggalkan dulu postingan ini.
Perhatian. Ini Saya, Bukan Reza Rahardian |
Candi Bajang Ratu, Didedikasikan untuk Jayanegara yang Menjadi Raja di Usia Muda |
#GerakanMenabungAvatar #KumpulkanFotoSebanyakMungkin |
Pendopo Agung, Bekas Lokasi Keraton Majapahit |
Taman Belakang Pendopo Agung. Gapura Kanan Menuju Panggung Keraton |
Di Tempat ini Mahapatih Gadjah Mada Membacakan Sumpah Palapa |
Museum, Sedang Diperluas Menjadi Taman Konservasi Majapahit |
Candi Brahu, Tempat Upacara Ngaben Berlangsung |
Teuku Rassya. Siap Diangkat Menjadi Raja |
Gapura Wringin Lawang yang Bercirikan Gaya Candi Hindu Bentar (Gerbang yang Terpisah) |
***
Memilih Trowulan sebagai tujuan lonely-birthday-trip-yang-tertunda sebenarnya bukan tanpa alasan. Ya.
Gara-gara secarik kertas bertuliskan silsilah dari masa Brawijaya yang saya
miliki, sudah dari tahun lalu saya berkeinginan buat mengunjungi kampung halaman
sesungguhnya yang berusia ratusan tahun ini. Jadilah minggu lalu saya nekad backpacking sendirian ke Jawa Timur
untuk pertama kali, dalam rangka merayakan pesta jiwa yang mulai memasuki deret
hitung kepala dua.
Bukan, Ini Bukan Surat Warisan. |
Meski terlambat dua bulan, lonely-birthday-trip ini tetap
saya lakukan. Banyak pengalaman yang berhasil saya rasakan selama di perjalanan,
mulai dari kontemplasi sepanjang Jakarta—Malang di dalam kereta, tersesat naik kendaraan
umum di kota orang, ingar bingar atribut kampanye capres yang mengingatkan saya
pada Jakarta, hingga akhirnya berhasil menginjakkan kaki di metropolitan yang
pernah mahsyur bernama Trowulan.
Dengan melakukan proses berarsitektur sembari napak tilas, saya
menyadari bahwa di umur yang tidak lagi bisa disebut remaja ini, masih terlalu banyak
pencapaian hidup yang harus dilampaui. Lulus, jadi arsitek, membanggakan kedua
orang tua, cita-cita bisa berkontribusi dalam membangun Bekasi—kota tempat
tinggal saat ini- menjadi lebih manusiawi, hingga mengembalikan kejayaan bangsa.
Ya… sepahit-pahitnya bisa memenuhi target hidup untuk satu dekade mendatang.
Awal bagian yang baru dimulai di sana, di bekas tempat berdiri
Gadjah Mada kala menggemakan sumpah amukti palapa-nya. Saya berjanji, angka dua
puluh ini tidak boleh hanya menjadi sebatas angka, tetapi dapat menjadi titik
mula kesuksesan dalam epos mahasiswa tingkat akhir bernama Rizki Dwika.
Mojokerto, 19 Juni 2014.
Dalam renungan sejenak di pinggir Kolam Segaran.
..................
11 komentar:
30 June 2014 at 06:43
Permalink this comment
Keren ya ternyata Mojokerto, aku aja yang tinggal di Surabaya gapernah keliling2 kesana. Bisa dijadiin referensi nih hehe. Btw, kunjugan balik juga ya bro: Galassia del Sogno by Rosiy | http://gebrokenruit.blogspot.com/ Followback juga boleh hehe:D
30 June 2014 at 08:45
Permalink this comment
Wahh keren! Mirip bangunan candi Boko di Jogja hehe :))
30 June 2014 at 09:31
Permalink this comment
Berapa biaya menuju kesana? ._.
Keren sih keren, fotonya juga bagus.
Btw, gue ga ngelihat Teuku Rassya sembunyi disana. Haha. :(
30 June 2014 at 13:06
Permalink this comment
asik ya bisa jalan2 sendirian gitu. gua mau juga. tapi gak pernah kesampean. hiks banget deh
30 June 2014 at 14:18
Permalink this comment
Seru juga tripnya...
tapi koq sendiri aja nih? *eh :D
1 July 2014 at 02:44
Permalink this comment
Hehehe maklum. Pevita Pearce lagi banyak jadwal jadi nggak bisa nemenin :)
1 July 2014 at 02:46
Permalink this comment
segera sob dituntaskan!!!
kereta ekonomi ac jarak jauh mulai naik per 1 september besok :"=D
kapan lagi gocap bisa ke luar kota :D
1 July 2014 at 02:53
Permalink this comment
sebetulnya penekanan tulisan ini bukan ke arah sana, makanya biayanya nggak ditekenin ehehe.
sebagai gambaran kasar ya, here we go:
-Kereta Matarmaja Jakarta-Malang (karena gue dari Malang, bisa aja ke Trowulan langsung dari Surabaya) Rp 65.000
-Kereta Lokal Tumapel Malang-Surabaya Rp4.000
-Opsi lain Malang Surabaya, Penataran (Rp5.000) dan Penataran express (Rp25.000)
-Kereta Rapih Dhoho Rp5.500
Tarif angkot di Mojokerto Rp3.000-Rp4.000an.
Ojek wisata Rp 75.000 (catatan: ini paling mahal ya)
Tarif masuk tiap candi judulnya sih sukarela. Kalo datengnya sendiri, mungkin goceng ato ceban udah cukup hehehe.
SERIUS NGGAK LIAT TEUKU RASSYA!? COBA FOLLOW @rizkidwika!!!
1 July 2014 at 02:54
Permalink this comment
Siapa yang keren? gue?
ah, bisha aja :)
1 July 2014 at 02:59
Permalink this comment
siapsiap udah di follow, sob!
abis ini saya mau bikin field report lanjutan di Surabaya loh!
Nantikan :))
30 August 2017 at 01:02
Permalink this comment
Mas ijin save fto ne yo